Wednesday, May 31, 2006

Marhalah, Amal, dan Ahdaf Dakwah

Sasaran :
• Memahami bahwa dakwah ada marhalah yang wajib ditempuh.
• Memahami bentuk setiap marhalah dakwah dan tujuan yang hendak dicapai.
• Menyadari bahwa untuk merealisasikan tujuan-tujuan Islam ia harus mengikuti setiap marhalah dakwah.

Ringkasan :
Marhalah dakwah terdiri dari tabligh, ta’lim, takwin, dan tanfidz. Pada setiap tahapan ini terdapat amalud dakwah (aktivitas dakwah) dan ahdafud dakwah (tujuan dakwah). Pada marhalah tabligh (penyampaian umum) dan ta’lim (pengajaran) aktivitas dakwahnya adalah merubah dari kebodohan kepada ma'’ifah (pengenalan) manakala tujuannya adalah menyampaikan ilmu dan memperbaiki ilmu. Marhalah takwin mempunyai aktivitas merubah ma’rifah kepada fikrah dan merubah fikrah kepada harakah sedangkan tujuan adalah memperbaiki fikrah dan melatih amal. Pada marhalah tandzim, aktivitas dakwahnya adalah merubah harakah kepada hasil sedangkan tujuannya adalah menyatukan shaf, mengkoordinasikan amal dan pengawasan kegiatan. Pada marhalah tanfidz aktivitas dakwah adalah merubah hasil kepada tujuan (mardhatillah) menakala tujuannya adalah mobilisasi amal. baca

Hasiyah :
1. Marhalah tabligh dan ta’lim
Syarah
• Amal dakwah pada marhalah tabligh dan ta’lim adalah merubah jahalah kepada ma’rifah. Marhalah ini adalah marhalah yang terbuka dengan penyampaian terbuka dan bahan yang sifatnya umum. Mereka yang hadir dalam marhalah ini adalah mereka yang berada pada level umum. Contoh tabligh adalah aktivitas dakwah di masjid (ceramah, khutbah, tazkirah), di kampus (seminar, kuliah, daurah) sedangkan ta’lim marhalah setelah tabligh. Mereka yang berminat dengan dakwah dan Islam diajak kepada marhalah ta’lim. Bentuk usrah umum dapat dikatakan marhalah ta’lim dimana kita mendapatkan ilmu melalui pengajaran yang dijadwal dan terlaksana secara tertib. Usaha-usaha dakwah tabligh dan ta’lim ini dengan sifat yang umum, peserta umum, dan tujuan umum, maka aktivitas ini bersifat merubah ketidaktahuan kepada pengetahuan (ma’rifah). Di dalam menjalankan amal dakwah demikian banyak aktivitas yang dilakukan seperti media, brosur, kaset, video, games, training, rihlah, dan sebagainya.
• Seiring dengan amal dakwah yang dilakukan di marhalah ini maka tujuan dan dakwahnya adalah memberi ilmu dan memperbaiki ilmu. Bagi peserta yang tidak mempunyai ilmu maka dengan keikutsertaannya di dalam marhalah tabligh dan ta’lim ini akan menambah ilmu sedangkan bagi yang sudah berilmu akan mendapatkan perbaikan ilmunya atau menambah ilmu. Pembedahan, perbincangan, dan pembahasan adalah bagian dari aktivitas marhalah ini sehingga mencapai kebutuhan akal atau kognitif individu seperti ilmu.

2. Marhalah Takwin
Syarah
• Pribadi yang sudah menyadari pentingnya ilmu dan peranannya pengajaran yang terus menerus dan tertib serta telah bersedianya untuk mendapatkan ilmu dan amal bagi peningkatan potensi diri maka mereka ditingkatkan kepada marhalah takwin.
• Marhalah takwin ini mempunyai amal dakwah seperti merubah ma’rifah kepada fikrah dan merubah fikrah kepada harakah. Aktivitas ini dimulai dengan merubah ma’rifah yang telah dicapai pada marhalah sebelumnya kepada fikrah. Ma’rifah hanya mengenal saja tetapi belum mempunyai kesadaran dan pemahaman yang baik. Kesadaran dan pemahaman yang dapat membentuk amalnya adalah fikrah. Banyak muslim yang mempunyai ilmu tetapi tidak ada fikrah sehingga amal dan usahanya tidak jelasdan tidak teratur, begitupun dengan sikap dan tingkah lakunya terkadang menyimpang, ia pun mudah terpengaruh oleh ghazwul fikri sehingga muncul beberapa pribadi yang tidak komitmen dan tidak konsisten. Usaha merubah ma’rifah kepada fikrah dilakukan dengan membedah realitas yang berlaku dan merujuk kepada nilai Islam dari Al Qur’an dan As Sunnah. Perbincangan dilakukan sehingga muncul kesadaran dan pemahaman.
• Aktivitas berikutnya adalah merubah fikrah kepada harakah. Fikrah tidak cukup dimiliki seseorang apabila tidak diamalkan dan diwujudkan dalam harakah. Fikrah harus dibuktikan di dalam amalnya. Merubah fikrah kepada harakah adalah melatih peserta ke dalam amal dan gerakan, selain diberi peluang kepada peserta untuk beramal juga diberi latihan-latihan yang dapat merasakan realitas dan keadaan fikrah yang sebenarnya. Misalnya kita hanya memahami bahwa dakwah itu wajib dan bagi yang berdakwah itu dibantu oleh Allah, hanya dengan dakwah yang dapat menegakkan Islam. Fikrah demikian perlu dirasakan dengan amal di dalam harakah. Latihan yang diberikan dan juga peluang yang diberikan dan juga peluang yang disediakan akan membawa peserta kepada harakah.
• Pada marhalah ini memiliki tujuan dakwah, yaitu memperbaiki fikrah dan memperbaiki amal. Pribadi pada marhalah sebelumnya yang mendapatkan ilmu atau pribadi yang mengikuti marhalah takwin ini akan diusahakan agar mereka dapat memperbaiki fikrah dan amalnya. Perbaikan dilakukan dilakukan didalam marhalah ini dengan kaidah-kaidah yang telah dicontohkan Nabi seperti pelaksanaan tarbiyah para sahabat di rumah Arqom bin Abi Arqom.

3. Marhalah Tandzim
Syarah
• Setelah proses marhalah takwin maka proses berikutnya adalah marhalah tandzim. Marhalah tandzim mempunyai amal dakwah lain yaitu merubah harakah kepada hasil. Tandzim dapat juga diartikan kepada jama’ah. Mereka yang sudah memiliki ciri-ciri islamiyah dan ciri pribadi da’iyah perlu disatukan kedalam tandzim (jama’ah). Dengan usaha ini maka akan mendapatkan hasil. Kerja secara infiradhi tidak akan membuahkan hasil yang berkesan. Usaha sendiri hanya terbatas kepada suatu hasil tertentu yang sesuai dengan kemampuannya, tetapi dakwah secara berjama’ah melalui tandzim ini akan menghasilkan banyak hasil. Usaha ini dilakukan dengan amal jama’i sehingga apapun tujuan dapat dicapai dengan izin Allah. Tujuan yang besar seperti menegakkan Islam tidak akan dicapai apabila tidak dilakukan secara berjama’ah.
• Tujuan dakwah pada marhalah tandzim ini adalah menyatukan shaf, mengkoordinasikan kerja dan melakukan pengawasan aktivitas dakwah. Peranan tandzim adalah menyatukan segala potensi yang dimiliki kemudian diarahkan kepada amal secara berjamaah dan dilaksanakan pengawasan amal tadi. Dengan demikian aktivitas dakwah akan berjalan dengan lancar menuju hasil yang berkesan kepada pribadi, keluarga, dan masyarakat.
4. Marhalah tanfidz
Syarah
• Amal yang dilakukan pada marhalah ini adalah merubah hasil yang dicapai didalam marhalah tandzim kepada tujuan yang dikehendaki (mencapai ridha Allah). Tujuan jangka panjang adalah menegakkan syariat di muka bumi sehingga membumikan syariat ini merupakan bagian utama cita-cita setiap muslim. Tujuan hanya dpat dicapai dengan melakukan usaha dakwah secara jama’i didalam jama’ah. Tujuan jangka pendek dakwah biasanya sangat bergantung kepada keadaan, tempat, suasana, situasi, peristiwa yang melatarbelakangi dan pertimbangan-pertimbangan semasa. Semua tujuan ini diwarnai dengan usaha untuk mencapai mardhatillah. Bentuk tanfidz dapat juga diartikan setiap amal yang kita hasilkan secara bersama-sama dan mengikuti sasaran yang dikehendaki, seperti terlaksananya daurah, menjadikan mad’u sebagai anggota jama’ah melaksanakan ibadah dan dakwah.
• Tanfidz akan diarahkan untuk bergerak dan beramal sehingga pada marhalah tanfidz ini ahdaf dakwah adalah menggerakkan amal yang sudah dilakukan sebelumnya. Banyak contoh seperti aktif di dalam menghidupkan platform, wajihah amal, dan wajihah umum. Menampilkan pribadi al akh ke dalam masyarakat sehingga mewujudkan fikrah Islam di tengah masyarakat. Menggerakkan al akh ke dalam amal yang dirasakan oleh masyarakat umum misalnya melakukan khidmat sosial. Tampilnya pribadi al akh sebagai contoh di TV atau media, dan juga memasukkan al akh ke berbagai partai dan pertumbuhan yang dapat mengembangkan dakwah Islam nantinya. Pelaksanaan tanfidz ini mungkin juga dilakukan dengan demonstrasi, turun ke jalan, dan sebagainya. Banyak cara lainnya di dalam marhalah tanfidz ini seperti usaha membentuk fikrah di dalam masyarakat melalui media dan aktivitas menegakkan syariat melalui politik dan lainnya. Tanfidz yang dilakukan oleh al akh dapat dilaksanakan dari aktivitas yang sederhana hingga kepada aktivitas yang besar didalam menegakkan syariat Islam.

Dalil :
• 5:67 ; Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamudari Tuhanmu. Dan tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanatnya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.
• 2:151 ; Mereka (Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allahdan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya pemerintahan dan hikmah, (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendakiNya. Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia atas alam semesta.
• 3:79 ; Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah, dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia,” Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata) :”Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.
• 3:104 ; Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar : merekalah orang-orang yang beruntung.
• 61:4 ; Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalanNya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.
• 9:105 ; Dan katakanlah:”Bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang Maha Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakanNya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.
lengkapnya

Tuesday, May 30, 2006

Kewajiban Lebih Banyak dari Waktu yang Dimiliki

Kebanyakan orang memahami kewajiban sebagai beban berat yang harus dipikul dan dipertanggungjawabkan di hadapan pemberi kewajiban itu. Sehingga yang terbayang adalah pemberat-pemberat yang ada di pundak. Dan semakin banyak kewajiban yang ada maka semakin terasa berat pula beban hidupnya. Sungguh kasihan hidup yang penuh beban, selalu merasa dalam penderitaan dan tekanan.
Berbeda dengan orang beriman, ia memahami kewajiban yang telah Allah tetapkan dengan pemahaman yang indah dan menyenangkan, ia memahami kewajiban itu sebagai :
1. Peluang terbesar untuk mendekatkan diri kepada-Nya,
2. Peluang untuk meningkatkan kualitas diri, dan
3. Tangga untuk memperoleh cinta Allah, yang dengan cinta itu manusia akan terjaga dirinya,
4. Menjauhkan diri dari tarikan dunia dan menfokuskan diri pada sikap rabbani.
Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Allah swt berfirman dalam hadits Qudsi. baca

Barang siapa yang memusuhi kekasih-Ku maka Aku nyatakan perang kepadanya. Dan tidak ada amal ibadah yang dilakukan hamba-Ku untuk mendekatkan diri kepada-Ku lebih Aku cintai dari pada kewajiban yang telah Aku tetapkan atasnya. Dan hamba-Ku akan terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah sehingga Aku mencintainya. Maka ketika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengaran yang dia gunakan untuk mendengar, mata yang dipergunakan untuk melihat, tangan yang dipergunakan untuk memegang, kaki yang dipergunakan untuk berjalan. Jika ia meminta-Ku pasti akan Aku berikan, dan jika ia meminta perlindungan-Ku pasti akan Aku lindungi. (HR Bukhari)

Kadar kewajiban
Allah swt telah mendistribusikan kewajiban bagi manusia ini sesuai dengan kapasitas dan kemampuan setiap orang, Firman Allah:
Dan Allah tidak membebankan kepada seseorang kecuali sesuai dengan apa yang dimampui. (QS. 2/Al Baqarah: 286)

Kewajiban guru berbeda dengan kewajiban murid, kewajiban imam berbeda dengan kewajiban makmum, kewajiban orang miskin berbeda dengan kewajiban orang kaya dst masing-masing telah mendapatkan porsi kewajiban yang sebanding dengan kebutuhan kebaikan yang hendak dicapai.
1. Kewajiban dzatiyah (pada diri sendiri) menjadi kebutuhan orang untuk mendapatkan kualitas pribadi yang unggul, sehingga ia menjadi shalih bagi dirinya secara fisik, intelektual, dan spiritual.
2. Kewajiban kepada Allah, berfungsi untuk tautsiqushshilah (menguatkan hubungan dengan Allah), sehingga setiap saat pertolongan Allah dapat diraih untuk mendapatkan sukses hidup dunia dan akhirat.
3. Kewajiban kepada sesama manusia berfungsi untuk menata harmoni kehidupan dalam ikatan nilai dan kebaikan. Kewajiban itu mencakup:
a. Kewajiban kepada kedua orang tua.
b. Kewajiban suami isteri.
c. Kewajiban kepada anak.
d. Kewajiban kepada kerabat.
e. Kewajiban kepada tetangga.
f. Kewajiban kepada saudara.
g. Kewajiban kepada manusia pada umumnya.

Dimana posisi kita dari semua kewajiban itu?
1. Jika kita hanya dapat menunaikan kewajiban dzatiyah maka, kita baru dapat menshalihkan diri sendiri, secara fisik, intelektual, dan spiritual. Dan jika kita tidak mampu menshalihkan diri dalam apek-aspek penting itu, bagaimana mungkin kita akan mampu meshlihkan orang lain.
2. Jika kewajiban kepada Allah tidak terpenuhi dengan baik, maka akankah ada kedekatan jarak dengan Allah? Jika tidak dekat dengan Allah, akankah pertolongan Allah dapat diterima.
3. Jika kewajiban kepada sesama manusia dalam berbagai statusnya tidak dapat dilaksanakan dengan baik, akankah mereka bersimpati dan berbaik sikap dengan kita? Rasulullah saw yang senantiasa bersikap baik, menunaikan kewajiban kemanusiaan kepada siapapun masih saja mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan.
a. Bagaimana mungkin orang tua akan bersimpati dan mau mendengar ucapan anaknya, jika sang anak tidak menunaikan kewajibannya kepada kedua orang tuanya?
b. Bagaimana mungkin pasangan hidup akan mau menerima dengan utuh pasangannya jika ia tidak menunaikan kewajibannya dengan baik?
c. Akankah anak menghargai dan menghormati kedua orang tuanya dengan ikhlas, jika kedua orang itu tidak menunaikan kewajibannya dengan baik?
d. Akankah kerabat akan bersimpati jika kewajiban kepada mereka tidak terpenuhi?
e. Akankah tetangga akan menjadi saksi dan pembela yang ikhlas kepada kita, jika kewajiban kepada mereka tidak ditunaikan?
f. Akankah sanak saudara mau menjadi penolong kesulitan kita, jika kewajiban kepada mereka tidak dilaksanakan?
g. Akankah publik mau memilih kita menyisihkan yang lainnya, jika kewajiban kepada mereka tidak kita berikan?
Dan kita membutuhkan mereka semuanya, untuk kepentingan dakwah dan penataan kehidupan yang lebih baik dan lebih mulia. Tidak akan berarti apa-apa keshalihan pribadi yang kita bangun tinggi jika tidak memberi dampak bagi keshalihan lingkungan.
Semakin banyak peran yang ingin kita mainkan, maka semakin banyak pula kewajiban yang harus kita tegakkan. Banyak peran dengan sedikit kewajiban tertunaikan adalah kebangkrutan, dan banyak kewajiban tanpa peran adalah kemandulan. Dan kita hanya ingin memiliki kader yang berperan aktif, produktif, dan dinamis. Dan untuk semua itu, kewajiban di semua tingkatan harus terpenuhi.
Wallahu a’lam.
lengkapnya

Wednesday, May 24, 2006

Kesuksesan Hari Ini adalah Eksistensi Hari Esok

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Hasyr: 18)

Banyak orang selalu ingin sukses dalam hidupnya karena memang kesuksesan menjadi kata yang paling digandrungi. Ia menjadi obsesi mereka untuk mencapainya. Karena dapat meraihnya merupakan indikasi dari keberhasilan aktivitas yang sedang digelutinya. Kesuksesan ini juga menjadi eksistensi dirinya pada dinamika sosial yang sedang dijalani. Maka setiap orang akan mengerahkan segenap potensinya dengan optimal dan maksimal untuk dapat meraihnya. Sebab kesuksesan itu adalah harapan indah yang selalu mengiang-ngiang. Demikian pula kesuksesan kerja utama kita. Terlebih lagi kesuksesan bagi dakwah ini. Kesuksesan individu memberikan kebahagiaan yang tak terkira, apalagi kesuksesan dakwah dan jamaah ini. baca

Bila kita amati perbincangan orang, kita temukan mereka menetapkan ukuran sukses yang bermacam-macam, sehingga mereka kadang menentukan suatu penilaian yang juga beragam. Baik ukuran sukses jangka panjang ataupun jangka pendek. Kita bisa melihat bagaimana orang menetapkan ukuran kesuksesan jangka pendek. Ada yang menetapkan penilaiannya pada sisi finansial yang melimpah ruah, sejumlah asset yang tak terhitung lagi, banyaknya supporter yang simpati dan memberikan dukungan. Atau keunggulan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Dengan penilaian itu mereka menetapkan fokus sasaran aktivitasnya dan berupaya semaksimal mungkin untuk dapat meraihnya. Tatkala ia mampu mencapainya ia akan menikmati kepuasan yang tidak terperi.
Ukuran kesuksesan ini hanya sebagai alat untuk mengukur keberhasilan melakukan sesuatu. Agar apa yang akan dan sedang kita lakukan dapat dievaluasi dengan seksama dan terukur. Baik kegiatan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari atau kegiatan yang berhubungan dengan usaha perniagaan. Juga kegiatan lainnya termasuk aktivitas dakwah dan jamaah ini.

Tentunya ukuran kesuksesan dalam pandangan kader dakwah tidak seperti yang dimiliki kebanyakan orang. Kesuksesan dakwah ini tidak terletak pada sisi-sisi yang ditentukan kebanyakan orang. Untuk kader dakwah dalam menentukan ukurannya dapat kita perhatikan firman Allah SWT:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An Nur: 55)
Apabila kita tadaburi ayat di atas kita temukan petunjuk bahwa dakwah ini sukses jika kita dapat meraih;
1. Kepemimpinan yang mengayomi seluruh kalangan sehingga mereka mendapatkan hak-haknya. Tidak ada rakyat yang dipimpinnya yang terzhalimi. Kepemimpinan yang memberikan keteladanan, keadilan, kenyamanan dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Pemimpin yang seperti ini tidak akan dapat dilakukan kecuali oleh pemimpin yang beriman dan beramal shalih. Bukan pemimpin yang dusta, zhalim, curang, penipu dan menyimpang. Pemimpin tipe seperti itu hanya melahirkan kesengsaraan bagi rakyatnya. Rakyat melaknat pemimpinnya dan pemimpin menyumpahi rakyatnya. Pemimpin yang baik sebagaimana para pemimpin di masa lalu yang dicintai rakyat dan umatnya. Sehingga generasi sesudahnya merindukan model pemimpin yang lalu seperti kerinduan kita pada Khulafa’ur Rasyidin, Umar bin Abdul Aziz, Abdurrahman Ad Dakhil dan para pemimpin lainnya.
2. Kedudukan yang eksis dan tidak memberikan peluang kecurangan, kedustaan atau penyimpangan. Kedudukan yang teduh dan tenang sehingga dapat merealisasikan misi dakwah ini, yakni rahmatan lil alamin bagi semua kalangan. Keadaan yang demikian memberikan suasana nyaman bagi semua pihak, seperti orang-orang Babylonia yang akan ditinggal kaum muslimin setelah sekian lama mereka hidup bersama. Mereka datangi Khalid bin Walid agar memperpanjang waktu tinggalnya di sana.
3. Tegaknya agama ini, tidak ada lagi fitnah di muka bumi. Agama ini berdiri tegar tanpa ada satu pun yang menentangnya. Islam yang tegak merupakan kebutuhan asasi bagi manusia karena Allah SWT. sudah memformat agama ini bagi manusia. Kita tahu bahwa Islam memang jawaban dan solusi atas problematika manusia.
4. Hilangnya rasa takut karena telah tegaknya Islam. Dengan itu keadaan menjadi aman sentosa. Tidak ada kerawanan yang menakutkan. Sehingga setiap orang tidak cemas dan khawatir akan mendapatkan gangguan, apa lagi gangguan dalam menjalankan agama ini. Rasulullah SAW. pernah menjanjikan akan ada suatu masa di mana seorang wanita dapat melakukan perjalanan dari Shan’a sampai ke Hadratu Al Maut dengan aman tanpa rasa takut.
5. Beribadah kepada Allah SWT. secara total sehingga tidak memberikan peluang sedikit pun pada kemusyrikan. Penyembahan kepada Allah SWT. Dengan ketundukan dan kepatuhan dalam seluruh sendi kehidupan ini. Dengan itu mereka menggantungkan keterikatan hanya kepada-Nya.

Tentu kita tahu bahwa kesuksesan itu tidak akan muncul secara tiba-tiba. Ia merupakan proses panjang yang kita lalui dan akhirnya akan berpulang pada kerja kita untuk mewujudkannya. Kita harus ingat benar bahwa kesuksesan itu tidak datang begitu saja. Melainkan ia datang karena kesungguhan dan kekuatan jiwa. Hasan Al Banna Rahimahullah dalam Majmu’atur Rasail pada tajuk "Kepada Apa Kami Menyeru Manusia", mengingatkan kita terhadap upaya-upaya untuk mencapai kesuksesan dakwah ini. Bahwa mereka yang ingin membina dan membangun dirinya, mencapai kesuksesan serta berjuang untuk mewujudkan cita-citanya dan membela agamanya, harus memiliki kekuatan jiwa yang dahsyat. Kekuatan jiwa yang terekspresikan dalam sikap:
1. Tekad membaja yang tidak pernah melemah. Ia tidak kendur menghadapi rintangan, tidak cemas menghadapi gangguan dan tidak akan mundur menghadapi tantangan. Ia bagaikan tameng yang berdiri tegar menghadapi segala serbuan.
2. Kesetiaan yang kuat dan tidak tersusupi oleh pengkhianatan dalam bentuk apapun. Tidak tergiur oleh bisikan-bisikan yang menyimpang, tidak tergoda oleh rayuan-rayuan yang dapat melunturkan kesetiaannya pada jalan ini.
3. Pengorbanan yang tidak dibatasi oleh kekikiran dan keserakahan. Pengorbanan yang ringan untuk disumbangkan dalam berbagai keadaan baik lapang maupun sempit, dalam keadaan susah maupun senang. Ia akan keluarkan tanpa merasa keberatan sedikit pun juga.
4. Pengetahuan dan keyakinan yang dengannya kita bisa memperjuangkan dakwah kita karena ia memahami apa yang semestinya dikerjakan. Ia siap berada dalam barisan jalan ini tanpa keragu-raguan.
5. Penghormatan yang tinggi terhadap ideologi yang diperjuangkannya dengan penuh keyakinan dan kesungguhan.

Apabila kita dapat meraih kesuksesan dakwah di hari ini, maka itu akan mempengaruhi eksistensi kita di hari esok. Kita tahu bahwa apa yang telah kita lakukan kemarin berimbas pada kondisi kita saat ini. Usaha kerja keras kita kemarin, di hari inilah kita dapat melihat hasil dan pengaruhnya baik yang positif ataupun yang negatif. Yang berimplikasi pada kedudukan dakwah kita untuk masa depan Islam.
Oleh karena itu ikhwah sekalian ketahuilah bahwa kesungguhan kerja kita sekarang ini akan berdampak pada eksistensi kita esok hari. Selamat berjuang semoga Allah bersama kita.
lengkapnya

Tuesday, May 23, 2006

Mewaspadai Virus Ghibah dan Namimah

Tiada yang berhak memiliki pujian di alam semesta ini selain Allah Robb, Penguasa dan Pemilik otoritas di alam semesta ini. Kita haturkan shalawat dan salam kepada Rasul Pembawa rahmat, yang telah menunaikan tugas risalah, melaksanakan amanat kerasulan membawa umat manusia ke gerbang kebahagiaan.
Ikhwah yang dicintai dan disayang Allah…
Relakah kalau Antum jadi sasaran celaan orang lain? Maukah Antum kalau kakak atau adik kandung Antum menjadi buah bibir masyarakat terhadap kekeliruan yang dilakukannya? Ridhakah Antum kalau ada orang membuka aib (cela) diri Antum di depan orang banyak? Kalau Antum tidak suka itu semua, semua orang pun tidak menyukainya, iya bukan??? baca
Karena itulah, Allah swt Yang Maha Sayang kepada hamba-hamba-Nya yang setia beriman, memperingatkan sejak awal akan bahaya ghibah (menggunjing), membuka aib seseorang. Peringatan Allah diungkapkan dengan bahasa komunikasi yang sangat efektif, dengan cara memberikan perumpamaan orang yang menggunjing saudaranya seperti menyantap daging segar saudaranya yang sudah menjadi mayit itu. Artinya kalau memakan daging mayit tidak disukai, maka mengapa orang suka membicarakan keburukan dan aib saudaranya yang jauh dari pengetahuannya.
Akhi fillah …
Apa maksud Allah swt memulai ayat larangan ghibah dengan seruan kepada orang beriman? Apa artinya Allah mengaitkan perbuatan tercela itu dengan keimanan? Yaa ayyulladziina aamanuu (wahai orang-orang beriman…). Demikian Allah sangat sayang dan penuh mahabbah menyeru, mengingatkan dan mentaujih kita orang beriman. Karena Iman dan sifat tercela itu tidak akan mungkin bersatu, ibarat air dengan minyak, tidak logis muslim apalagi dai mendekati sesuatu yang dicela Allah swt dan rasul-Nya.
Setiap muslim terhadap muslim lainnya haram, darahnya, hartanya dan kehormatan dirinya. (H.R. Muslim).

Ikhwatul Ahibbah ……-semoga Allah mempererat ukhuwah kita-
Karena ghibah merupakan larangan Allah, rambu-rambu pergaulan dengan sesama, lebih jauh lagi ia merupakan arahan Ilahi bagi orang beriman agar menjauhi sifat tercela itu, maka pelanggaran terhadap larangan dan peringatan itupun berakibat kepada kenistaan pelakunya. Dengarkan kisah perjalanan Isra Mi’raj Rasulullah saw yang sempat diperlihatkan beberapa pemandangan yang mengerikan, untuk lebih meyakinkan diri dan umatnya terhadap kejadian yang menimpa itu, “Pada malam perjalanan Isra Mi’raj, aku diperlihatkan orang-orang yang mencakar-cakar mukanya dengan kuku-kuku tajam mereka, aku bertanya: Wahai Jibril siapa mereka itu? Jibril a.s menjawab: Mereka adalah orang-orang yang menggunjing orang lain dan membuka aib (kehormatan) dirinya”. (H.R. Abu Daud dengan sanad yang sangat shahih). Semoga Allah melindungi kita dari azab dan siksa-Nya.
Meskipun ghibah bukan merupakan kaba’ir (dosa besar) tetapi ternyata melakukannya menjadi faktor penyebab menimpanya azab kubur kepada pelakunya. Sahabat Jabir berkisah: Ketika kami bersama dengan Rasulullah saw, kami melewati 2 buah makam, seraya Rasulullah saw bersabda: "Mereka berdua sedang disiksa di kubur mereka, bukan karena dosa besar yang dilakukannya, tetapi yang satu karena menggunjing orang lain, sedangkan yang lain tidak bersuci dari kencingnya”.
Karenanya pula Rasulullah saw memberikan peringatan yang keras, sampai-sampai ia menyampaikannya dalam sebuah khutbah dengan suara yang menggelegar terdengar wanita-wanita di rumah mereka, “Wahai orang-orang yang percaya kepada lisannya, tapi tidak mempercayai hati nuraninya, jangan kalian menggunjing saudaramu sesama muslim, jangan pula membuka auratnya, karena siapa yang membuka aurat saudaranya niscaya Allah akan membuka aib dirinya, barang siapa yang Allah buka aib dirinya, Dia akan mencela dirinya walau di dalam rumahnya.” (H.R. Ibnu Abid-Dunya, Abu Daud dari hadits Abu Burzah dengan sanad yang jayyid).

Ibnu Abbas menyerukan, “Siapa yang berkeinginan menyebut aib temannya, maka sebutkanlah terlebih dahulu menyebut aib dirinya”. Abu Hurairah pun berkata, “Sungguh mengherankan, ada orang dapat melihat kotoran kecil di mata saudaranya, tetapi tidak dapat melihat kotoran besar di matanya sendiri". Sebagaimana al-Hasan menegaskan, “Ikhwah fillah, Antum tidak akan memperoleh lezat dan esensi iman, sampai Antum mampu tidak membuka aib temanmu dengan sebuah aib yang ada pada diri Antum, sampai Antum juga mampu memperbaiki aib itu dimulai dari dirimu. Jika itu dapat Antum lakukan, niscaya Antum akan terbiasa menyibukkan diri dengan perbaikan diri Antum, dan hal itu yang disukai Allah”.
Ikhwani –hafizhakumullah fi tha’atih- (semoga Allah memelihara Antum dalam ketaatan kepada-Nya).
Adalah bukti kasih sayang Rasul qudwah kita, ketika memberikan arahan tentang bahaya lisan, bahwa kesempurnaan Islam seseorang dilihat dari kebersihan lisan dan tangannya dari bentuk-bentuk gangguan terhadap saudaranya:
Orang muslim adalah yang orang muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya. (H.R. Muslim).
Di antara bentuk gangguan lisan itu adalah “namimah” (‘mengadu domba’), seseorang berkata kepada kawannya, bahwa si Fulan telah mengatakan sesuatu tentang dirimu. Sehingga hal tersebut membuat kawannya marah dan tidak suka kepada si Fulan itu.
Namun bentuk namimah tidak sebatas provokasi, tetapi menyebarkan rahasia seseorang juga termasuk namimah, atau memberitahukan orang sesuatu yang tidak disukainya. Kondisi seperti ini hendaknya disikapi dengan sikap yang bijak, yakni tidak menambah penyebaran berita itu, tetapi sebaiknya ia mendiamkan, kecuali pemberitaan sesuatu yang ada manfaat dan maslahatnya bagi muslim atau untuk mencegah bahayanya.
Ikhwah fillah yang menyayangi dan disayangi Allah.
Ketahuilah, bahwa setiap yang dilarang dalam Islam, memberikan manfaat besar bagi muslim, baik dalam kehidupan individu maupun kehidupan masyarakat. Ternyata bahaya namimah tidak hanya untuk pribadi pelakunya, tetapi dapat memberikan dampak yang sangat luas dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Karenanya Allah swt dan Rasul-Nya memberikan ancaman-ancaman berat bagi para pelaku namimah:
1. “Jangan kamu taati orang-orang yang mendustakan agama….(yaitu) yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah” (Q.S. Al-Qalam: 11).
2. “Neraka wail bagi pengumpat atau penyebar fitnah dan pencela” (Q.S. Al-Humazah: 1).
3. “…akan masuk neraka…….pembawa kayu bakar” (Q.S. Al-Masad: 2-4), si pembawa kayu bakar itu dahulunya orang yang menyebarkan fitnah. Sebagaimana 2 wanita yang berkhianat kepada suaminya yang Nabi itu, mereka adalah wanita-wanita yang menyebarkan fitnah dan aib suaminya yang salih-salih itu (baca surat at-Tahrim).
4. “Tidak akan masuk surga orang yang melakukan namimah” (H.R. Imam Bukhari Muslim).
5. “Orang yang paling dicintai Allah adalah orang-orang yang berupaya melakukan ta’lif (menjadi golongan perekat), sedangkan yang paling dibenci Allah adalah orang-orang yang menyebar fitnah, yang memecah persatuan saudaranya, mencari-cari kesalahan orang shalih” (H.R. Imam Thabrani).
6. “Maukah kalian aku beritahu orang yang paling buruk di antara kalian? Dia adalah orang yang berjalan berkeliling melakukan namimah, merusak persaudaraan orang-orang yang saling bercinta dan yang mencari kesalahan orang” (H.R. Ahmad).
Ikhwan fillah…
Setiap kita pasti tidak suka difitnah, sebagaimana kita juga tidak suka ayah atau ibu atau saudara kita mendapat fitnah; karena itulah orang lain juga tidak senang difitnah dan dibicarakan aib diri mereka.
Untuk itu setiap ada berita kita dengar atau lihat, hendaknya diklarifikasi di-tabayyun, jika tidak, maka akan berakibat fatal. Tadabburi pesan Allah swt:
Wahai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq dengan membawa sebuah berita, hendaknya diklarifikasi (tabayyun), karena khawatir menimpa suatu kaum dengan cara yang ‘bodoh’ yang akan mengakibatkan kalian menyesal. (Q.S. Al-Hujurat: 6)
Yakinlah, bahwa bimbingan dan arahan Allah dan Rasul-Nya pasti memberikan pencerahan dan kesejahteraan hidup, pada kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan hidup bernegara serta kebaikan bagi peradaban manusia.
Wallahu A’lam.
lengkapnya

Monday, May 22, 2006

Rumah Tangga Sebagai Cermin

Masyarakat Islam bagaikan bangunan kokoh. Usrah (keluarga) bukan saja sebagai sendi terpenting dalam bangunan tersebut, tetapi juga menjadi unsur pokok bagi eksistensi umat Islam secara keseluruhan. Oleh sebab itu, agama Islam memberikan perhatian khusus masalah pembentukan keluarga ini.
Perhatian istimewa terhadap pembentukan usrah tersebut tercermin dalam beberapa hal, yaitu:
Pertama, Al-Qur’an menjabarkan cukup terinci tentang pembentukan keluarga ini. Ayat-ayat tentang pembinaan keluarga termasuk paling banyak jumlahnya dibandingkan dengan ayat-ayat yang menjelaskan masalah lain. Al-Qur’an menjelaskan tentang keutamaan menikah, perintah menikah, pergaulan suami-istri, menyusui anak, dan sebagainya.
Kedua, sejak dini As-Sunah telah mengajarkan takwinul usrah yang shalihah dengan cara memilih calon mempelai yang shalihah. Rasulullah SAW bersabda, “Pilihlah tempat untuk menanam benihmu karena sesungguhnya tabiat seseorang bisa menurun ke anak”

Rasulullah SAW sejak masa remaja sudah terkenal sebagai orang yang bersih dan berbudi mulia. Ketika beliau menginjak umur 25 tahun menikahi Khadijah binti Khuwalid. Sejak saat itulah beliau mengarungi kehidupan rumah tangga bahagia penuh ketenteraman dan ketenangan.
Rasulullah SAW amat menghormati wanita, lebih-lebih istrinya. Beliau bersabda, “Tidaklah orang yang memuliakan wanita kecuali orang yang mulia dan tidaklah yang menghinakannya kecuali orang yang hina”. Menghormati istri adalah kewajiban suami. Al-Qur’an berkali-kali memerintahkan agar menghormati dan berbuat baik terhadap istri. Kita tidak mendapatkan kata-kata dalam Al-Qur’an yang mengharuskan untuk berbuat baik dalam mempergauli istri, baik dalam keadaan marah atau tidak. Kecuali, ditekankan kewajiban berbuat ma’ruf dan ihsan terhadap istri dan dilarang menyakiti atau menyiksanya.
Perbuatan baik ini tidak terbatas pada perlakuan sopan terhadap istri saja tapi mencakup ketabahan dan kesabaran ketika menghadapi kemarahan istri sebagian kasih sayang atas kelemahannya. Rasulullah SAW menyatakan, “Wanita itu diciptakan dari tulang rusuk, bila kamu luruskan (dengan keras) maka berarti mematahkannya”. (Al-Hadits)
Rasulullah SAW amat sayang terhadap istri-istrinya. Beliau amat marah bila mendengar seorang wanita dipukul suaminya. Pernah datang seorang wanita mengadu kepada Rasulullah SAW bahwa suaminya telah memukulnya. Maka beliau berdiri seraya menolak perlakuan tersebut dengan bersabda, “Salah seorang dari kamu memukul istrinya seperti memukul seorang budak, kemudian setelah itu memeluknya kembali, apakah dia tidak merasa malu?”
Ketika Rasulullah SAW mengizinkan memukul istri dengan pukulan yang tidak membahayakan, dan setelah diberi nasihat dan ancaman secukupnya. Beliau didatangi 70 wanita dan mengadu bahwa mereka dipukuli suami. Rasulullah SAW berpidato seraya berkata, “Demi Allah, telah banyak wanita berdatangan kepada keluarga Muhammad untuk mengadukan suaminya yang sering memukulnya. Demi Allah, mereka yang suka memukul istri tidaklah aku dapatkan sebagai orang-orang yang terbaik di antara kamu sekalian.”
Rasulullah SAW merupakan contoh indah dalam kehidupan rumah tangganya. Beliau sering bercanda dan bergurau dengan istri-istrinya. Dalam satu riwayat beliau balapan lari dengan Aisyah, terkadang beliau dikalahkan dan pada hari lain beliau menang. Beliau senantiasa menegaskan pentingnya bersikap lembut dan penuh kasih sayang kepada istrinya. Kita banyak menjumpai hadits yang seirama dengan hadits berikut, “Orang mukmin yang paling sempurna adalah yang paling baik akhlaqnya dan paling lembut pada keluarganya”. Riwayat lain, “Sebaik-baik di antara kamu adalah yang paling baik pada keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku”.
Di antara yang menunjukkan keteladanan beliau dalam menghormati istri adalah menampakkan sikap lembut, penuh kasih sayang, tidak mengkritik hal-hal yang tak berguna dikritik, memaafkan kekeliruannya, dan memperbaiki kesalahannya dengan lembut dan sabar. Bila ada waktu senggang beliau ikut membantu istrinya dalam mengerjakan kewajiban rumah tangganya.
Aisyah pernah ditanya tentang apa yang pernah dilakukan Rasulullah SAW di rumahnya. Beliau menjawab, “Rasulullah mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, dan bila datang waktu shalat dia pergi shalat.”
Rasulullah SAW memiliki kelapangan dada dan sikap toleran terhadap istrinya. Bila istrinya salah atau marah, beliau memahami betul jiwa seorang wanita yang sering emosional dan berontak. Beliau memahami betul bahwa rumah tangga adalah tempat yang paling layak dijadikan contoh bagi seorang dai, yaitu rumah tangga yang penuh kecintaan dan kebahagiaan. Kehidupan rumah tangga harus dipenuhi gelak tawa, kelapangan dada, dan kebahagiaan agar tidak membosankan.
Bila terpaksa harus bertindak tegas, beliau lakukan itu disertai dengan kelembutan dan kerelaan. Sikap keras dan tegas untuk mengobati keburukan dalam diri wanita sedangkan kelembutan dan kasih sayang untuk mengobati kelemahan dan kelembutan dalam dirinya.

Khadijah binti Khuwailid adalah seorang wanita bangsawan Quraisy yang kaya. Dia diberi gelar wanita suci di masa jahiliyah, juga di masa Islam. Banyak pembesar Quraisy berupaya meminangnya, akan tetapi beliau selalu menolak. Beliau pedagang yang sering menyuruh orang untuk menjualkan barang dagangannya keluar kota Mekkah.
Ketika beliau mendengar kejujuran Muhammad SAW, ia menyuruh pembantunya dan meminta Muhammad menjualkan barang dagangannya ke Syam bersama budak laki-laki bernama Maisyarah. Nabi Muhammad menerima permohonan itu dengan mendapatkan keuntungan besar dalam perjalanan pertama ini.
Setelah mendengar kejujuran dan kebaikan Muhammad, Khadijah tertarik dan meminta kawannya, Nafisah binti Maniyyah, untuk meminangkan Muhammad. Beliau menerima pinangan itu dan terjadilah pernikahan ketika beliau menginjak 25 tahun sedang Khadijah berumur 40 tahun.
Khadijah sebagai ummul mukminin telah menyiapkan rumah tangga yang nyaman bagi Nabi SAW. Sebelum beliau diangkat menjadi Nabi dan membantunya ketika beliau sering berkhalwat di gua Hira, Khadijah adalah wanita pertama yang beriman kepadanya ketika Nabi mengajaknya masuk Islam. Khadijah adalah sebaik-baik wanita yang mendukung Rasulullah SAW dalam melaksanakan dakwahnya baik dengan jiwa, harta, maupun keluarganya. Perikehidupannya harum semerbak wangi, penuh kebajikan, dan jiwanya sarat dengan kehalusan.
Rasulullah SAW pernah menyatakan dukungan ini dengan sabdanya, ”Khadijah beriman kepadaku ketika orang-orang ingkar, dia membenarkanku ketika orang-orang mendustakanku dan dia menolongku dengan hartanya ketika orang-orang tidak memberiku apa-apa. Allah mengaruniai aku anak darinya dan mengharamkan bagiku anak dari selainnya”. (H.R. Imam Ahmad dalam kitab Musnadnya)
Khadijah amat setia dan taat kepada suaminya, bergaul dengannya, siap mengorbankan kesenangannya demi kesenangan suaminya dan membesarkan hati suaminya di kala merasa ketakutan setelah mendapatkan tugas kenabian. Beliau gunakan jiwa dan semua harta miliknya untuk mendukung Rasul dan kaum Muslimin. Pantaslah kalau beliau dijadikan sebagai istri teladan pendukung risalah dakwah Islamiyah.
Khadijah mendampingi Nabi SAW selama seperempat abad, berbuat baik kepadanya di saat beliau gelisah, menolongnya di waktu-waktu sulit, membantunya dalam menyampaikan risalah, ikut serta merasakan penderitaan yang pahit pada saat jihad, dan menolongnya dengan jiwa dan hartanya.
Rasulullah SAW senantiasa menyebut-nyebut kebaikan Khadijah selama hidupnya sehingga ini pernah membuat Aisyah cemburu kepada Khadijah yang telah tiada. Dengan ketaatan dan pengorbanan yang luar biasa ini, pantas kalau Allah SWT menyampaikan salam lewat malaikat Jibril seperti yang pernah diungkapkan Rasulullah SAW dalam sebuah hadits, “Jibril datang kepada Nabi lalu berkata, wahai Rasulullah, ini Khadijah telah datang membawa sebuah wadah berisi kuah, makanan dan minuman, apabila datang kepadamu sampaikan salam dari Tuhannya dan beritahukan kepadanya tentang sebuah rumah di surga, terbuat dari mutiara yang tiada suara gaduh di dalamnya dan tiada kepenatan.” (H.R Bukhari)
Itulah sekelumit tentang sosok Khadijah sebagai seorang istri yang layak dijadikan teladan bagi wanita-wanita sekarang dalam mendukung suami melaksanakan kewajiban dakwah dan menyampaikan risalah Islam .
Ciri-ciri rumah tangga kader dakwah
1. Sendi bangunan keluarga kader adalah taqwallah. Taqwa merupakan sendi yang kuat untuk bangunan usrah Islamiyah. Memilih istri harus sesuai dengan taujih Rasulullah, yaitu mengutamakan sisi agama.
2. Kebahagiaan rumah tangga bukanlah berdasarkan atas kesenangan materi saja tapi kebahagiaan hakiki harus muncul dari dalam jiwa berupa ketaqwaan kepada Allah SWT. Bila taqwa telah menjadi sendi utama, maka kekurangan material apapun akan menjadi ringan. Dengan taqwa akan memunculkan tsiqah antara keduanya sehingga akan melahirkan ketenteraman dan ketenangan. Dengan ketaqwaan, hubungan antara suami dan istri serta anak-anaknya akan menjadi indah karena semua akan sadar akan tanggung jawabnya dan hak-haknya.
3. Rumah yang dibangun untuk keluarga kader seharusnya sederhana, mengutamakan dharuriyyat (prioritas), mengurangi hal-hal yang tersier, dan tidak ada israf.
4. Dalam masalah pakaian dan makanan hendaknya menjauhi israf, mewah-mewahan, tapi justru harus menekankan masalah kesederhanaan, kebersihan, menghindari yang haram. Rumah tangga kader lebih mengutamakan memperbanyak sedekah untuk fakir dan miskin. Nasihat pada setiap kader dalam hal makanan harus selalu halal dan baik, menjauhi yang haram dan yang syubhat
5. Sekitar anggaran rumah tangga haruslah menjadi contoh. Dalam hal ini kita harus:
a. mencari rezki yang halal dan baik serta menjauhi yang haram. Sebab, semua daging yang lahir dari barang haram maka api neraka lebih berhak untuk membakarnya.
b. Perlu ada kesepakatan antara suami dan istri dalam menentukan anggaran belanja rumah tangga, untuk apa saja penggunaan anggaran tersebut. Yang jelas, pengeluaran tidak boleh melebihi penghasilan
c. Mencukupkan diri dengan hal-hal yang dharuriyyat dan menjauhi hal-hal yang sifatnya kamaliyat semampu mungkin.
d. Memperhatikan hak Allah SWT seperti menunaikan zakat, menunaikan ibadah haji kalau sudah mampu. Dalam rumah tangga diutamakan bila mampu menyediakan kotak khusus untuk sedekah.
Wallahu a’lam.
lengkapnya

Friday, May 19, 2006

Jadikan Shalat Pencegah Perbuatan Keji dan Munkar

Setiap kewajiban yang telah dibebankan Islam kepada umatnya senantiasa memuat hikmah dan maslahat bagi mereka. Islam menginginkan terbentuknya akhlak Islami dalam diri Muslim ketika ia mengimplementasikan setiap ibadah yang telah digariskan oleh Allah SWT dalam Kitab dan Sunnah rasul-Nya.

Pada akhirnya nilai-nilai keagungan Islam senantiasa mewarnai ruang kehidupan Muslim. Tidak hanya terbatas pada ruang kepribadian individu Muslim, namun nilai-nilai itu dapat ditemukan pula dalam ruang kehidupan keluarga dan komunitas masyarakat Muslim. Kita bisa merenungkan kembali ayat-ayat Allah yang berkaitan dengan hal ini, sebagaimana salah satu firman-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah: 183).

Melalui ibadah puasa, Allah SWT menginginkan terbentuknya pribadi-pribadi Muslim yang bertakwa. Pribadi yang tidak pernah mengenal slogan hidup kecuali slogan yang agung ini: sami’naa wa atha’na. Pribadi yang senantiasa melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya dalam situasi dan kondisi apapun.

Oleh karenanya, Nabiyullah agung Muhammad SAW telah bersabda: “Takutlah kamu kepada Allah di manapun kamu berada, ikuti keburukan dosa dengan kebaikan niscaya ia akan menghapuskannya dan gauli manusia dengan akhlak yang baik.”

Dalam sabda beliau yang lain: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa faridlah (kewajiban) maka jangan sekali-kali kamu menyia-nyiakannya, Dia telah menetapkan batasan-batasan maka jangan sekali-kali kamu melampui batas, Dia telah mengharamkan banyak hal maka jangan sekali-kali melanggarnya….”

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. 9/At-Taubah: 103).
Dengan ibadah zakat, Islam mengharapkan tumbuh subur sifat-sifat kebaikan dalam jiwa seorang Muslim dan mampu memberangus kekikiran dan cinta yang berlebihan kepada harta benda. Begitu juga ibadah shalat yakni ibadah yang jika seorang hamba melaksanakan dengan memelihara syarat-syarat, rukun-rukun, wajibat, adab-adab, dan kekhusyu`an di dalamnya, niscaya ibadah ini akan menjauhkannya dari perbuatan keji dan kemunkaran. Sebaliknya, ibadah ini akan mendekatkan seorang hamba yang melaksanakannya dengan sebenarnya kepada Sang Khalik dan mendekatkannya kepada kebaikan-kebaikan serta cahaya hidup.

Perhatikan ayat berikut ini, “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. 29/Al-Ankabuut: 45).

Muslim yang selalu menunaikan ibadah ini akan selalu aktif dalam kegiatan-kegiatan kebaikan dan mampu menjadi cahaya di tengah-tengah masyarakatnya. Muslim yang memiliki hamasah yang menggelora dalam memperjuangkan kebenaran dan memberangus nilai-nilai kemunkaran, kelaliman, dan perbuatan keji lainnya. Hatinya terasa tersayat di saat menyaksikan pornografi dan porno aksi mewabah di tengah-tengah masyarakatnya. Jiwanya akan terus gelisah ketika melihat kelaliman yang dipermainkan para budak kekuasaan.

Memang, ia harus menjadi cahaya yang berjalan di tengah-tengah kegelapan zaman ini. Allah berfirman, “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. 6Al-An’am: 122)

Ibadah shalat adalah awal kewajiban yang diperintahkan Allah SWT kepada umat ini pada peristiwa Isra dan Mi’raj. Ibadah yang merupakan simbol dan tiang agama, “Pokok urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.” (HR Muslim). Ibadah yang dijadikan Allah sebagai barometer hisab amal hamba-hamba-Nya di akhirat, “Awal hisab seorang hamba pada hari kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik maka seluruh amalnya baik, dan apabila buruk maka seluruh amalnya buruk.” (HR At-Thabrani).

Ibadah shalat merupakan wasiat Nabi yang terakhir kepada umat ini dan yang paling terakhir dari urwatul islam (ikatan Islam) yang akan dihapus oleh Allah SWT. Selain ini, shalat juga penyejuk mata, waktu rehatnya sang jiwa, saat kebahagiaan hati, kedamaian jiwa dan merupakan media komunikasi antara hamba dan Rabbnya.
Ibadah yang memiliki kedudukan atau manzilah yang agung ini tidak akan hadir maknanya dalam kehidupan kita, tatkala kita lalai menjaga arkan, wajibat dan sunah yang inheren dengan ibadah ini.

Tatkala kita tidak mampu menghadirkan hati, merajut benang kekhusukan dan keikhlasan dalam melaksanakan ibadah ini maka kita tidak akan mampu menangkap untaian makna yang terkandung di dalamnya. Kita tidak akan mampu memahami sinyal-sinyal rahasia yang ada di balik ibadah ini.

Tidakkah banyak di antara manusia Muslim yang ahli ibadah namun masih jauh dari nilai-nilai Islam. Ahli shalat namun masih suka melakukan kemaksiatan. Hal ini disebabkan nilai-nilai agung yang terkandung dalam ibadah sama sekali tidak mampu memberikan pesan-pesan ilahiah di luar shalat. Takbir yang dikumandangkan di saat beribadah tidak mampu melahirkan keagungan di luar shalat. Do’a iftitah “Inna shalaatii wa nusukii….” yang dilafazkan dalam shalat tidak mampu mengingatkan tujuan hidupnya. Ibadah ini seolah-olah hanya menjadi gerakan-gerakan ritual yang maknanya tidak pernah membumi dalam kehidupan orang yang melaksanakannya.

Oleh karena itu, ibadah shalat yang mampu melahirkan hikmah pencegahan dari perbuatan keji dan kemungkaran, hikmah pensucian jiwa dan ketentraman, apabila dilakukan dengan penuh kekhusyukan, mentadabburkan gerakan dan ucapan yang terkandung di dalamnya, penuh ketenangan dan dengan tafakkur yang sesungguhnya. Maka ia akan keluar dari ibadah dengan merasakan kenikmatannya, terkontaminasi dengan nilai-nilai keta’atan dan mendapatkan cahaya ma’rifatullah.

Rasulullah SAW bersabda: “Tidak seorangpun yang melaksanakan shalat maktubah (fardlu), lalu ia memperbaiki wudlunya, khusyuk dan rukuknya kecuali shalat ini akan menjadi pelebur dosa-dosa sebelumnya selama tidak melakukan dosa besar. Dan ini berlaku sepanjang tahun.” (H.R. Muslim)

Inilah yang pernah dilakukan oleh salaf shalih termasuk di dalamnya Ibnu Zubair RA. Mereka laksana tiang yang berdiri tegak karena kekhusyukannya. Mereka terbius dengan kerinduannya akan Rabbnya dan mereka asyik berkomunikasi dengan Sang Khalik tanpa terganggu dengan suara makhluk-Nya.

Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan di saat melaksanakan ibadah shalat agar hikmah di dalamnya selalu terjaga. Pertama, menjaga arkan, wajibat dan sunah. Rasulullah SAW bersabda: “Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat.”
Kedua, ikhlas, khusyuk dan menghadirkan hati. “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Q.S. 98/Al-Bayyinah: 5).
Ketiga, memahami dan mentadabburi ayat, do’a dan makna shalat. “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (Q.S. 107/Al-Maa’uun: :4-5).
Keempat, mengagungkan Allah SWT dan merasakan haibatullah. Rasulullah SAW bersabda, “…Kamu mengabdi kepada Allah seolah-olah kamu melihatNya dan apabila kamu tidak melihat-Nya, maka (yakinlah) bahwasanya Allah melihat kamu…” (H.R. Muslim).

Semoga kita semua mampu merenungkan kembali arti shalat dalam kehidupan dakwah dan memperbaikinya agar kita benar-benar mi’raj kepada Allah SWT.
Wallahu A’lam Bish-shawwab.
lengkapnya

Wednesday, May 17, 2006

Melalaikan Amanah: Jalan Menuju Kegagalan dan Kehancuran

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui (Q.S. Al-Anfaal 27).
Ayat di atas mengaitkan orang-orang beriman dengan amanah atau larangan berkhianat. Bahwa di antara indikator keimanan seseorang adalah sejauh mana dia mampu melaksanakan amanah. Demikian pula sebaliknya bahwa ciri khas orang munafik adalah khianat dan melalaikan amanah-amanahnya. Amanah, dari satu sisi dapat diartikan dengan tugas, dan dari sisi lain diartikan kredibilitas dalam menunaikan tugas. Sehingga amanah sering dihubungkan dengan kekuatan. Firman Allah:
Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya (Q.S. Al-Qhashash 26).
Oleh karena itu wahai ikhwah, kuatkanlah keimanan dan ruhiyah kalian Kuatkanlah ilmu dan tsaqafah kalian, serta kuatkanlah fisik dan segala sarana yang dapat digunakan untuk memikul amanah. Dan Allah memerintahkan kepada kita untuk mempersiapkan segala bentuk kekuatan. (Q.S. 8:60) Ikhwan dan akhwat fillah! Hidup ini tidak lain adalah sebuah safari atau perjalanan panjang dalam melaksanakan amanah dari Allah. Dalam hidupnya manusia dibatasi oleh empat dimensi, bumi tempat beramal, waktu atau umur sebagai sebuah kesempatan beramal, nilai Islam yang menjadi landasan amal dan potensi diri sebagai modal beramal. Maka orang yang bijak adalah orang yang senantiasa mengukur keterbatasan-keterbatasan dirinya untuk sebuah produktivitas yang tinggi dan hasil yang membahagiakan. Orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang senantiasa sadar bahwa detik-detik hidupnya adalah karya dan amal shalih. Kehidupannya di dunia sangat terbatas sehingga tidak akan disia-siakannya untuk hal-hal yang sepele, remeh, apalagi perbuatan yang dibenci (makruh) dan haram.
ِِAmanah pertama yang harus dilakukan adalah Amanah Fitrah manusia, dimana makhluk lain enggan dan menolak menerimanya. Ia adalah amanah hidayah, ma’rifah dan iman kepada Allah atas dasar niat, kemauan, usaha dan orientasi. Amanah berikutnya adalah Amanah Syahadah (Kesaksian). Pertama, berupa kesaksian diri agar menjadi cermin bagi agamanya. Kedua, berupa kesaksian dakwah agar menyampaikan agama kepada manusia. Ketiga, berupa kesaksian agar menerapkan manhaj dan syariah Islam di bumi Allah.
Berkata Imam Syahid Hasan Al-Banna, “Wahai Muslimun! Ibadah kalian kepada Rabb kalian, jihad di jalan pengokohan agama kalian dan kemuliaan Syariat kalian adalah tugas kalian dalam hidup. Jika kalian melaksanakannya dengan benar, maka kalianlah orang yang sukses. Jika kalian melaksanakannya hanya sebagian atau melalaikan semuanya, maka aku sampaikan firman Allah Taala:
Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? (QS Al-Mu’minun 115).
Dan amanah itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Pertanyaan akan ditujukan atas amanah yang dibebankan kepada kita. Barang siapa yang menunaikan amanah sekecil apapun, niscaya akan dilihat Allah. Dan barang siapa yang melalaikan amanah sekecil apapun niscaya akan dilihat. Manusia tidak akan dapat lari dari tanggung jawab itu. Karena tempat yang ditinggali adalah bumi Allah, umur yang dimiliki adalah ketentuan Allah, potensi yang ada adalah anugerah Allah dan nilai Islam adalah tolak ukur dari pelaksanaan amanah tersebut. Kemudian mereka akan datang menghadap Allah.
Oleh karena itu sekecil apapun amanah yang dilaksanakan akan memiliki dampak positif berupa kebaikan. Dan sekecil apapun amanah yang disia-siakan, niscaya memiliki dampak negatif berupa keburukan. Dampak itu bukan hanya mengenai dirinya tetapi juga mengenai umat manusia secara umum. Seorang mukmin yang bekerja mencari nafkah dengan cara yang halal dan baik akan memberikan dampak positif berupa ketenangan jiwa dan kebahagiaan bagi keluarganya. Apalagi bila dia mampu memberi sedekah dan infak kepada yang membutuhkan. Sebaliknya seorang yang menganggur dan malas akan menimbulkan dampak negatif berupa keburukan, terlantarnya keluarga, kekisruhan, keributan dan beban bagi orang lain.
Kesalahan kecil dalam menunaikan amanah seringkali menimbulkan bahaya yang fatal. Bukankah terjadinya kecelakaan mobil ditabrak kereta, disebabkan hanya karena sopirnya lengah atau sang penjaga pintu rel kereta tidak menutupnya? Bahaya yang lebih fatal lagi adalah jika amanah dakwah tidak dilaksanakan sehingga kemaksiatan merebak, kematian hati, kerusakan moral dan tatanan sosial serta kepemimpinan di pegang oleh orang yang bodoh dan zhalim.

Perjalanan dakwah telah menorehkan pengalaman betapa kesalahan dalam melaksanakan amanah mengakibatkan kerugian dan musibah. Pada saat perang Uhud, Rasulullah saw. memerintahkan satu pasukan pemanah untuk tetap berjaga di bukit Uhud dan tidak meninggalkan pos itu. Tetapi, ketika tentara Islam sudah di ambang kemenangan, dan sebagian yang lain bersorak sambil memunguti rampasan perang, maka pasukan pemanah pun tergoda dan ikut-ikutan mengambil rampasan perang itu. Akhirnya pasukan kafir berhasil memukul mundur pasukan umat Islam, dan rampasan perang raib dari tangan mereka. Lebih tragis dari itu adalah darah segar berceceran dari muka Rasulullah saw, akibat amanah yang dilalaikan.
Harta, wanita dan kekuasaan memang merupakan sarana yang paling ampuh digunakan setan untuk menggoda orang beriman agar melalaikan amanah, bahkan meninggalkannya sama sekali. Betapa sebagian dai yang ketika tidak memiliki sarana harta yang cukup dan tidak ada kekuasaan yang disandangnya, begitu istiqamah menjalankan amanah dakwah. Tetapi setelah dakwah menghasilkan harta dan kekuasaan, amanah dakwah itu ditinggalkan atau bahkan berhenti dari jalan dakwah dan futur dalam barisan jamaah dakwah!
Oleh karena itu waspadalah terhadap harta, wanita dan kekuasaan! Itu semua hanya sarana untuk melaksanakan amanah dan jangan sampai menimbulkan fitnah yang berakibat pada melalaikan amanah. Di balik menunaikan amanah, terkadang ada bunga-bunga yang mengiringinya, harta yang menggiurkan, wanita yang menggoda. Sehingga orang yang beriman harus senantiasa menguatkan taqarrub illallah dan istianah billah.
Amanah adalah perintah dari Allah yang harus ditunaikan dengan benar dan disampaikan kepada ahlinya. Allah Taala berfirman:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS An-Nisaa 58)
Amanah yang paling tinggi adalah amanah untuk berbuat adil dalam menetapkan hukum pada kepemimpinan umat. Pahala yang paling tinggi adalah pahala dalam melaksanakan keadilan sebagai pemimpin umat. Begitulah sebaliknya, bahaya yang paling tinggi adalah bahaya melakukan kezhaliman pada saat memimpin umat. Kezhaliman pemimpin akan menimbulkan kehancuran dan kerusakan total dalam sebuah bangsa. Maka kezhaliman pemimpin merupakan sikap menyia-nyiakan amanah yang paling tinggi.
Dengan demikian orang-orang yang beriman harus benar-benar melaksanakan amanah kepemimpinan umat dan tidak memberikannya kepada orang-orang yang bukan ahlinya. Orang beriman adalah khairu ummah yang harus mengamankan amanah umat. Dan ketika amanah kepemimpinan dipegang oleh orang yang bukan ahlinya, maka umat Islam harus melakukan jihad dan amar ma’ruf nahi munkar. Rasulullah saw. bersabda:
Seutama-utamanya jihad adalah kalimat yang benar kepada penguasa yang zhalim(HR Ibnu Majah, Ahmad, At-Thabrani, Al-Baihaqi dan An-Nasai). Hadits yang lain:
Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthallib dan seorang yang bangkit menuju imam yang zhalim ia memerintahkan dan melarang sesuatu lalu ia dibunuh(HR Al-Hakim)

Hidup adalah pilihan-pilihan. Dan pilihan melaksanakan amanah adalah konsekuensi sebagai manusia, konsekuensi sebagai muslim dan konsekuensi sebagai dai. Oleh karenanya sandaran yang paling baik adalah Allah, teman yang paling baik adalah orang-orang yang shalih dan kelompok yang paling baik adalah jamaah Islam. Maka kuatkan hubungan dengan Allah dan tingkatkan ukhuwah Islamiyah, niscaya kita akan sukses melaksanakan amanah itu, sebesar apapun. Marilah kita melaksanakan amanah yang diberikan Allah kepada kita dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan. Marilah kita melaksanakan amanah yang dibebankan jamaah kepada kita dengan penuh kesabaran dan lapang dada. Marilah kita melaksanakan amanah umat dengan penuh keseriusan dan tanggung jawab. Dan semuanya akan ditanya, siapkah kita? Jika tidak, maka akan terjadi kehancuran dan kerusakan.
lengkapnya

Tuesday, May 16, 2006

Maksiat Penyebab Kekalahan

Secara harfiyah, maksiat artinya durhaka atau tidak patuh. Maksudnya adalah suatu perbuatan yang tidak mengikuti apa yang telah digariskan Allah Swt. Lawan dari maksiat adalah taat. Salah satu konsekuensi penting dari keimanan kepada Allah Swt adalah taat kepada segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya, baik dalam keadaan sendiri maupun bersama orang lain, dalam situasi senang maupun susah, begitulah seterusnya.
Dalam perjuangan menegakkan ajaran Islam, setiap pejuang harus selalu berada dalam ketaatan dan tidak boleh melakukan hal-hal yang bernilai maksiat. Hal ini karena kemaksiatan akan mengakibatkan penilaian dosa dari Allah Swt dan dosa akan menimbulkan akibat yang sangat fatal, baik bagi individu maupun jamaah.

Dosa yang merupakan kemaksiatan setidak-tidaknya akan membawa empat akibat, tidak hanya di dunia ini tapi juga di akhirat nanti. Empat akibat itu sangat penting kita pahami dan kita renungi agar dosa dan kemaksiatan tidak kita anggap sepele, sekecil apapun kemaksiatan itu.
1. Menggelisahkan Hati
Ketenangan hati merupakan sesuatu yang sangat diperlukan oleh manusia dalam menjalani kehidupannya, apalagi bagi para pejuang di jalan Allah. Sebagai manusia, kehidupan ini bisa dijalani dengan baik manakala ada ketenangan batin, namun bila ketenangan jiwa tidak dimiliki, tentu saja kehidupan ini tidak bisa dijalani dengan baik. Karena itu, sangat berbahaya bila pemimpin dan rakyatnya tidak memiliki ketenangan jiwa disebabkan dosa yang dilakukannya. Hal ini karena dosa memang dapat menggelisahkan hati pelakunya dan bisa berakibat pada tindakan-tindakan yang mendatangkan perbuatan dosa berikutnya, Rasulullah bersabda:
Dosa adalah sesuatu yang menggelisahkan dalam hati seseorang, sedangkan ia tidak setuju kalau hal itu diketahui oleh orang lain. (HR. Ahmad)
2. Terjadi Bencana Alam
Di dunia ini seringkali terjadi bencana alam mulai dari kemarau yang terlalu panjang hingga masyarakat kesulitan air, gunung meletus, gempa bumi, tanah longsor, banjir, kebakaran, angin kencang dan sebagainya. Hal itu jangan kita anggap sebagai peristiwa alam biasa. Karena pada hakikatnya bencana ada kaitannya dengan dosa yang dilakukan oleh manusia sehingga Allah Swt menunjukkan kemurkaan-Nya. Allah Swt berfirman:
"Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka diantara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan diantara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan diantara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan diantara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri." (Q.S. 29:40)
Terjadinya berbagai bencana alam pada hakikatnya adalah untuk mengingatkan manusia agar menyadari kesalahannya sehingga mereka mau kembali ke jalan Allah yang benar. Allah Swt berfirman:
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS 30:41)
3. Pertentangan Antar Manusia.
Dosa yang dilakukan oleh manusia ternyata bisa menimbulkan konflik di antara sesama mereka. Bahkan hingga terjadi tindakan-tindakan yang ganas, antar satu dengan lainnya, sesuatu yang semula tidak kita duga sama sekali. Hal ini karena orang yang berbuat dosa tidak mau mengakui kesalahannya, meskipun tahu bahwa ia telah berbuat salah. Maka orang yang dianggap telah berbuat salah dan dosa akan dipermasalahkan sehingga terjadilah konflik yang tidak sedikit melahirkan tindakan-tindakan yang sadis. Karena itu, bila di suatu negeri sering terjadi konflik, baik antar masyarakat maupun para pemimpinnya, salah satu yang harus kita teliti adalah dosa apa yang mereka lakukan sehingga mereka saling berselisih. Hal ini terdapat di dalam firman-Nya"
Katakanlah: "Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain. Perhatikanlah, betapa kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami." (QS 6:65)
Dalam kehidupan berjamaah, bila di antara anggota-anggotanya ada yang melakukan kemaksiatan, ini akan menimbulkan pertentangan di antara mereka. Pertentangan yang bisa menimbulkan hilangnya kekuatan jamaah itu karena ada perpecahan, Rasulullah Saw bersabda:
Demi yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, tiada dua orang saling mengasihi lalu bertengkar dan berpisah kecuali karena akibat dosa yang dilakukan oleh salah seorang dari keduanya. (HR. Ad Dailami)
4. Terhambat Untuk Bisa Masuk Surga.
Dalam rangkaian peristiwa pada hari kiamat, ada saat di mana manusia akan menunggu keputusan Allah Swt, apakah ia akan dimasukkan ke dalam surga atau ke neraka. Orang yang banyak beramal shaleh dengan membawa pahala yang banyak, akan tenang-tenang saja menghadapi situasi itu. Bahkan dari raut wajahnya nampak kegembiraan karena ia yakin akan keputusan Allah yang menggembirakan dirinya, yakni dimasukkan ke dalam surga. Tapi bagi orang yang berbuat dosa dalam hidupnya di dunia, apalagi dosa-dosa besar yang dibawanya, maka ia sangat murung dan takut dalam menghadapi keputusan Allah terhadap dirinya. Apalagi memang tidak mungkin rasanya bila ia masuk ke dalam surga karena dalam kehidupan yang dijalaninya, ia selalu berpaling dari nilai-nilai yang terkandung di dalam Al-Qur’an, Allah Swt berfirman:
"Barang siapa berpaling dari Al-Qur’an, maka sesungguhnya ia akan memikul dosa yang besar di hari kiamat, mereka kekal di dalam keadaan itu. Dan amat buruklah dosa itu sebagai beban bagi mereka di hari kiamat, (yaitu) di hari (yang waktu itu) ditiup sangkakala dan Kami akan mengumpulkan pada hari itu orang-orang yang berdosa dengan muka yang biru muram." (QS 20:100-102).
Hal itu dapat itu terjadi, pada sebuah negeri yang dapat dikatakan sebagai negeri yang penuh dosa Sehingga tidak mungkin bisa dicapai kebahagiaan dan ketenangan hidup di dalamnya. Bahkan di dalam hadits, Rasulullah Saw memastikan orang yang bermaksiat kepada Allah Swt dan mati dalam kemaksiatan tidak akan bisa masuk ke dalam surga, Rasulullah Saw bersabda:
Semua umatku akan masuk surga, kecuali yang tidak mau. Sahabat bertanya, “Siapa yang tidak mau Ya Rasulullah?”. Rasul menjawab, “Barang siapa yang taat kepadaku ia masuk surga dan siapa yang durhaka kepadaku ia termasuk orang yang tidak mau”.

Objektifitas sejarah dalam Islam telah menunjukkan kepada kita betapa kemaksiatan bisa menjadi penyebab suatu kekalahan dalam perjuangan. Dari sekian banyak peristiwa, ada dua peristiwa penting yang bisa kita jadikan rujukan untuk mengambil pelajaran. Pertama, kekalahan dalam perang Uhud yang terjadi karena ketidakdisiplinan para sahabat. Ketika itu, Rasulullah Saw belum menyatakan bahwa perang sudah selesai meskipun musuh-musuh sudah meninggalkan arena perang karena mendapatkan serangan yang dahsyat dari pasukan muslim. Tapi sebagian sahabat justru telah melakukan pengumpulan harta rampasan perang (ghanimah), maka sahabat-sahabat yang lainpun turut serta mengumpulkan harta itu, termasuk pasukan yang di atas bukit. Melihat hal itu, sisa-sisa tentara kafir melakukan konsolidasi dan mereka naik ke atas bukit lalu melakukan serangan yang bertubi-tubi hingga para sahabat kocar-kacir, bahkan 70 orang sahabat menjadi syahid dan Rasulullah Saw sendiri terperosok ke dalam lubang, mengalami luka dan giginya sampai patah.
Kedua, kekalahan dalam perang Hunain meskipun kaum muslimin berjumlah sangat banyak, yakni 12.000 pasukan, sedangkan pasukan kafir hanya 4000 orang. Hal ini terjadi karena adanya perasaan sombong dan menganggap enteng lawan karena jumlah pasukan yang banyak. Hal ini menyebabkan jumlah pasukan Islam menjadi sedikit dan yang sedikit itulah yang kemudian menunjukkan kesungguhan sehingga berhasil mengalahkan musuh.
Dari dua contoh ini, menjadi jelas bagi kita betapa para dai dan mujahid harus betul-betul memiliki akhlaq yang mulia untuk suksesnya dalam perjuangan, sedangkan kemaksiatan hanya akan membuat Allah menjadi murka, bahkan sangat besar kemurkaan-Nya sehingga sulit memberikan kemenangan kepada kaum muslimin.
lengkapnya

Thursday, May 11, 2006

Peran Keteladanan Akhwat Dalam Dakwah

Dakwah seorang da’iyah akan menjadi lebih ringan diterima masyarakat ketika ia dapat membuktikan dirinya sebagai sosok aplikatif dari nilai-nilai Islam. Karena dia dapat menunjukkan sikap-sikap keteladanan yang lebih mudah untuk difahami, diterima, dan diikuti oleh masyarakat. Oleh karena itu syiar bagi da’iyah adalah “Ashlih nafsaki wad’u ghairaki” (perbaikilah dirimu dan serulah selainmu). Syiar ini menunjukkan bahwa hendaknya seorang da’iyah sebelum menyeru kepada orang lain ia sendiri sudah berusaha mengamalkannya. Sehingga seruannya tidak akan diremehkan dan di samping itu ia pun akan dapat memperkaya dan memperkuat seruannya dengan pengalaman dalam mengaplikasikannya.
Ingatlah bahwa da’iyah bukan hanya sekadar juru penerang, penyeru, dan pembawa hidayah tetapi juga sebagai dalil bagi masyarakat dalam berperilaku. Dengan kata lain perilaku da’iyah akan dijadikan sebagai sebuah alasan dan dalil bagi masyarakat dalam mengikutinya. Oleh karena itu da’iyah harus bisa menjadikan dirinya sebagai cermin dan contoh yang baik bagi masyarakat.
Rasulullah SAW bersabda, “Seorang mukmin itu adalah cermin bagi saudaranya yang beriman.”
Itulah sebabnya perilaku baik ataupun buruk dari seorang da’iyah akan menjadi cermin yang memantul pada perilaku masyarakat. Wajarlah jika Fudhail Bin ‘Iyadh mengatakan "?Tegakkanlah daulah (Islam) di hatimu niscaya ia akan tegak di atas bumimu."
Rasulullah SAW sebagai figur sentral dalam dakwah sejak sebelum masa kerasulannya sudah dipersiapkan menjadi teladan terbaik di tengah-tengah manusia. Sehingga ketika beliau berdakwah sudah memiliki pribadi yang sempurna. Pribadi yang sangat patut dijadikan sebagai contoh terbaik bagi seluruh umat manusia. Allah berfirman, “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharapkan rahmat Allah dan hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah.” (QS.33:21)
Rasulullah SAW telah mempersiapkan para sahabatnya agar memiliki pribadi teladan yakni Al Syakhshiyah Al Qudwah. Dan seharusnya pribadi tersebut dimiliki oleh setiap da’iyah sebelum melakukan seruan dakwahnya. Pribadi ini mencakup antara “Hablum Minallah dan Hablum Minannas”.
Dalam Hadits riwayat Abdu Na’im dan Baihaki disebutkan bahwa Rasulullah SAW berpesan kepada Muaz Bin Jabal, “Hai Muadz, aku pesankan kepadamu agar bertaqwa kepada Allah, berkata jujur, memenuhi janji, menunaikan amanah, tidak khianat, menjaga hak tetangga, menyayangi anak yatim, berkata lembut, menjaga perdamaian, berbuat kebaikan, menjaga komitmen iman, memahami isi Al Qur’an, mencintai akhirat ………….”
Pribadi da’iyah yang mencerminkan pesan-pesan Rasulullah di atas akan memberikan pengaruh yang besar terhadap masyarakat di sekitarnya. Maka da’iyah yang benar adalah da’iyah yang telah memulai menerapkan nilai-nilai Islam pada dirinya sebelum ia menyerukan nilai itu kepada orang lain.
Sebagai akhwat diberikan anugerah oleh Allah berupa kelembutan dan kasih sayang yang lebih besar daripada yang diberikan kepada ikhwan. Anugerah ini merupakan modal dan potensi yang menguntungkan dalam merekrut masyarakat ke dalam lingkaran dakwah kita.
Merekrut masyarakat harus dilandasi oleh kelembutan dan kasih sayang yang besar. Sehingga kita memiliki kepedulian terhadap permasalahan mereka, baik permasalahan moral maupun materi.
Dengan kepeduliannya kepada masyarakat dai’yah rela mengorbankan jiwa dan hartanya untuk menyelesaikan problematika hidup masyarakat yang ada di lingkungannya. Pengorbanan jiwa bisa dilakukan dengan berlapang dada, mengalah, memaafkan kesalahan, menghormati, menghargai tetangga dan masyarakat di lingkungannya. Allah berfirman, “Maka disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras, lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu ……” (QS.3:159)
Sedangkan pengorbanan materi bisa berupa aksi-aksi sosial seperti memberi hadiah, bakti sosial, khitanan massal, santunan anak yatim, pengobatan gratis, pembagian sembako, santunan untuk fakir miskin dan janda, menggalang gerakan orang tua asuh untuk anak-anak fakir miskin dan lain-lain.
Untuk melakukan aksi-aksi sosial ini para da’iyah hendaknya pandai membina dan menjalin hubungan dengan para donatur, kerja sama dengan para sponsor, serta pandai menghimpun dan memberdayakan potensi masyarakat.
Dalam kondisi krisis ekonomi ini, masyarakat sangat membutuhkan kepedulian da’iyah untuk menyelesaikan persoalan kebutuhan ekonomi mereka. Maka keteladanan akhwat da’iyah dalam merekrut masyarakat sebagai massa dakwah semakin sempurna ketika sudah dapat memadukan keberadaan kepribadian “Al Syakhshiyah Al Qudwah” yang meliputi hablum minallah dan hablum minannas. Dengan keteladanan yang sempurna tersebut akan menjadi orang yang paling dicintai Allah sebab Rasulullah bersabda, “Orang yang paling dicintai Allah adalah mereka yang paling bermanfaat bagi orang lain”.
Semoga dengan keteladanan yang sempurna ini, Allah senantiasa memberikan kemudahan,keberkahan, hidayah, keridhaan dan kesuksesan kepada da’iyah seluruhnya. Amin.
Wallahu a’lam.
lengkapnya

Wednesday, May 10, 2006

Syarat-Syarat Kemenangan Dalam Da’wah

Allah swt berfirman:
"Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana." (QS Al Isra’: 5)

Saat kita mengikuti berbagai berita, melalui surat kabar dan televisi. Baik berita internasional, regional, maupun lokal. Banyak hal bisa kita ikuti, kita baca, kita dengar dan kita lihat. Namun, bagi kita para da’i, para penda’wah, kader dan simpatisan da’wah, berbagai hal yang kita ikuti, kita baca, kita dengar dan kita lihat itu harus membawa pengaruh kepada da’wah kita. Baik dari sisi pemahaman, keikhlasan, ketaatan, maupun rukun-rukun bai’at lainnya. Jika tidak, maka segala yang kita lakukan itu hanyalah merupakan tamattu’ dzihni (kenikmatan akal pikiran) semata. Padahal kita semua telah mengikrarkan diri untuk melakukan ad-da’wah ilaLlah (berda’wah di jalan Allah swt). Ikrar yang kita lanjutkan dengan syi’ar: “La nahya illa bidda’wati wala tahya ad-da’watu illa bina” (kami tidak bisa hidup tanpa berda’wah dan da’wah tidak akan hidup tanpa kita).

Dari sekian banyak perkembangan dan berita yang terjadi di sekeliling kita, ada satu hal yang patut menjadi renungan bersama kita. Namun tidak boleh berhenti sebatas renungan. Melainkan harus kita tindaklanjuti dalam bentuk peran serta aktif, amal-amal yang produktif, kontinyu (berkelanjutan) dan berkesinambungan.
Di antara berita-berita yang kita ikuti itu adalah: penjajahan Amerika atas Afghanistan, lalu disusul oleh penjajahan Amerika atas Iraq. Dahsyatnya lagi, penjajahan itu mendapatkan pengesahan dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) dengan score 14 setuju dan 1 tidak hadir. Perjuangan bangsa Palestina atas penjajahan Israel belum juga mendapatkan kemenangannya. Sehingga, ada sebagian umat, bahkan sebagian kader da’wah yang bertanya-tanya: “Mengapa kita belum mendapatkan kemenangan?”

Terhadap pertanyaan seperti ini, kita perlu memahaminya dalam dua tahap:

Pertama: Tabi’at da’wah atau sunnatud-da’wah memang dikehendaki Allah swt untuk berjalan demikian. Allah swt telah menetapkan bahwa da’wah tidak serta merta mendapatkan kemenangannya tanpa melalui proses pengujian terhadap para kader dan pendukungnya. Ketetapan ini berlaku semenjak nabiyullah Nuh ‘alaihis-salam (sebagai nabi yang Allah swt utus setelah adanya kemusyrikan), sampai kepada nabi akhir zaman, nabi kita Muhammad saw. Dan akan terus berjalan sampai hari kiamat nanti, tanpa ada perubahan dan pergantian. Kita bisa mengingat kembali firman Allah sebagai berikut ini:
"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat." (QS Al Baqarah: 214)
"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar." (QS Ali Imran: 142)
"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS At-Taubah: 16)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya yang menjelaskan demikian.

Kedua: Kemenangan hakiki itu ada syarat-syaratnya. Jika kita telah memenuhi syarat-syarat itu, niscaya Allah swt akan berikan kemenangan itu kepada kita. Namun, jika syarat-syarat itu belum kita penuhi, atau dengan kata lain, belum ada pada kita, maka tentu saja Allah swt tidak akan berikan kemenangan hakiki itu kepada kita.
Syarat-syarat kemenangan –sebagaimana dijelaskan dalam QS Al Isra: 5 di atas antara lain:
1. Al ‘Ubudiyyah al kamilah (penghambaan yang sempurna) kepada Allah swt, al ‘ubudiyyah yang mengembalikan umat untuk berorientasi ke masjid (khususnya al masjid Al Aqsha –kiblat pertama kaum muslimin).
2. Al Qudrah ‘ala ba’sin syadid (kemampuan untuk memiliki, menguasai dan mempergunakan daya kekuatan yang besar)

Bila QS Al Isra ayat 5 di atas kita renungkan secara mendalam, kita akan mendapatkan:
a. Ayat lima di atas diawali dengan maqam (kedudukan) tertinggi Rasulullah saw, yaitu maqam ‘ubudiyah (kedudukan sebagai hamba Allah swt) sebagaimana tersebut pada ayat pertama surat Al Isra.
b. Bagian awal dari surat Al Isra’ juga mengisahkan nabiyullah Nuh ‘alaihis-salam dan bahwasanya dia adalah seorang abdan syakuuran (hamba Allah swt yang banyak bersyukur).
c. Bagian awal dari surat ini juga mengisahkan tentang nabiyullah Musa ‘alahis-salam yang menerima al kitab dari Allah swt sebagai hudan (petunjuk) bagi Bani Israil. Dan bahwasanya mereka disyaratkan untuk tidak menyekutukan Allah swt dengan sesuatu apapun.
d. Al ‘Ubudiyah semata tidaklah cukup untuk menghancurkan hegemoni Yahudi yang merusak bumi dan sombong (QS Al Isra: 4). Namun, al ‘ubudiyyah itu harus diikuti dengan persiapan, pengadaan dan penguasaan sumber-sumber ba’sin syadid (kekuatan besar yang dahsyat)
e. QS Al Isra’ ini juga menjelaskan bahwa pasukan yang mampu mengakhiri hegemoni Yahudi yang selalu berbuat kerusakan dan congkak di muka bumi itu adalah pasukan yang berorientasi kepada masjid (QS Al Isra : 7)

Setelah kita mengetahui dua persyaratan besar dan utama bagi kemenangan ini, marilah kita melakukan introspeksi terhadap diri kita. Sudahkah kita memenuhi persyaratan kemenangan ini? Jika jawaban kita belum, dalam arti: kita belum menjadi hamba Allah swt yang sempurna, mungkin dalam diri kita masih ada penghambaan kepada harta, wanita, tahta dan semacamnya. Atau mungkin kita sudah menjadi hamba Allah swt yang sempurna, namun, sudahkah kita memenuhi kualifikasi uli ba’sin syadid (pemilik kekuatan besar yang dahsyat)? Bila jawaban kita adalah belum, maka tahulah kita, mengapa kita dan da’wah kita belum mendapatkan kemenangan. Dan ini berarti penegasan kepada kita untuk terlebih dahulu memenuhi QS Al Anfal: 60 yang memerintahkan kita untuk mempersiapkan kekuatan dengan baik, agar musuh-musuh Allah swt menjadi gentar atas kesiapan kita itu.
Wallahu a’lam.
lengkapnya

Tuesday, May 09, 2006

Demo Dengan Semangat Dakwah

Sesungguhnya tidak ada yang lebih pantas untuk dinyatakan dan diangkat ke permukaan dalam hidup ini selain kebenaran yang meliputi keadilan, kesusilaan, kejujuran/sportivitas, dll. Tidak ada yang lebih patut dinyatakan secara vokal dan dipublikasikan setelah kebenaran selain penolakan terhadap lawan kebenaran, yaitu kebatilan atau kemunkaran dengan segala bentuknya. Ini sesungguhnya adalah misi agama Allah dan Rasulullah saw. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an:
“Dialah Allah yang telah mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar (al Islam), untuk ditinggikan (dimenangkan) Nya atas semua agama lainnya, meskipun orang-orang musyrik tidak menyukainya.“ (Q.S. At-Taubah: 33 dan As-Shaf: 9).
Di dalam Islam, kita mengetahui bahwa amal kebaikan yang tinggi nilainya adalah jihad dengan segala tingkatannya, mulai dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi yaitu menyatakan “kalimatul haq“ (ungkapan kebenaran) di hadapan penguasa yang zhalim. Sebagaimana dinyatakan dalam hadits Nabi saw.
Demonstrasi atau muzhaharah yang kita lakukan adalah kegiatan unjuk rasa secara vokal dan lugas (terang-terangan) dalam menyampaikan salah satu dari dua misi suci, yaitu yang bersifat “munasharah“ atau “inkarul munkar”. Munasharah adalah menyatakan dukungan dan advokasi terhadap sebuah prinsip kebenaran yang sedang diperjuangkan, seperti munasharah untuk segera disahkannya RUU Sisdiknas. Sementara Inkarul Munkar adalah muzhaharah yang menolak suatu prinsip kebatilan/kemunkaran yang mengancam atau yang sudah terjadi, seperti penolakan terhadap pornografi dan pornoaksi.

Dari sudut pandang itu, kita dapat letakkan demo dalam konteks dakwah, karena demo dapat digunakan sebagai salah satu wasilah atau sarana dan bahasa dakwah yang menyatakan keberpihakan pada kebenaran dan penolakan terhadap kebatilan. Dengan demikian, demo juga merupakan artikulasi dari amar ma’ruf dan nahi munkar, melalui ekspresi vokal dan dukungan sosial, lantangnya sebuah demonstrasi akan mempengaruhi efektivitas pengerahan massa dan semakin banyak pendukung kebenaran maka hal tersebut akan makin menunjukkan betapa kuatnya kebenaran tersebut.
Sebagaimana media, ekspresi publik pada hakikatnya semata-mata adalah alat yang bisa digunakan untuk tujuan yang baik dan mulia, atau tujuan yang merugikan masyarakat. Sehingga untuk memastikan apakah suatu demo itu bernuansa atau bersifat da’wi haruslah dicermati beberapa hal. Pertama, pastikan tujuannya adalah untuk membela kebenaran atau menolak kebatilan. Kedua, berniatlah untuk berdakwah, yaitu mengajak dan mempengaruhi opini publik agar berpihak pada kebenaran. Ketiga, hendaknya tetap memperhatikan etika dakwah, seperti tidak memfitnah tapi menyebutkan fakta, tidak melecehkan atau menyakiti tapi mengoreksi dan mengingatkan. Hendaknya kita tidak berlaku destruktif dan anarkis agar mampu memikat publik, dan tidak mengucapkan kata-kata kotor melainkan ungkapan yang masih berada dalam batas-batas etika umum. Perlu ditegaskan bahwa menyatakan sesuatu secara lantang dan tegas dengan tuntutan yang keras, tidak berarti harus dengan bahasa dan cara yang kasar atau brutal, sebab kekuatan suatu komunikasi publik lebih terletak pada misi dan kekuatan bahasanya.
Potret demo yang da’wi kiranya pernah dipraktekkan Nabiyullah Musa dan Harun ‘alaihimassalaam ketika mencoba meyakinkan Firaun tentang kebenaran dakwah yang dibawanya. Dan pada peristiwa lain para tukang sihir (saharah) Firaun berdemo menolak untuk melanjutkan kesetiaannya kepada Firaun, meskipun mereka menghadapi resiko yang sangat berat. Jika sudah menyangkut masalah keimanan, resiko apapun menjadi kecil di hadapan kebesaran-Nya. Allahu Akbar.
Dalam semangat yang sama, meski tidak melibatkan massa, seorang ibu terang-terangan menolak rencana kebijakan Umar bin Khathab yang akan membatasi nilai mahar dalam pernikahan. Dengan kata-katanya yang lantang tetapi sopan dan jelas maksudnya, Umar pun menerima protes perempuan itu dengan mengatakan, “Shadaqatil mar-atu wa akhtha-a Umar”. (Perempuan itu benar dan Umar salah).
Dakwah, sebagai pekerjaan paling mulia dan “ahsanu qaulan” (ucapan yang paling baik), sangat layak untuk disampaikan dengan berbagai sarana yang halal, tetapi bukan menghalalkan segala cara dan sarana. Demo yang da’wi adalah demo yang halal atau mubah, namun sesuai dengan tingkat urgensinya, ia bisa meningkat hukumnya menjadi sunnah bahkan wajib untuk dilakukan atau diikuti. Seorang dai kiranya belum lengkap kedaiahannya dan belum optimal menjalankan tugasnya, jika belum menyalurkan misi dakwahnya melalui berbagai saluran yang wajar dan terdiversifikasi, antara lain dengan cara demo yang Islami. Lebih dari itu demo akan memberikan nilai tambah berupa pengalaman tarbiyah maidaniyah yaitu pengalaman yang baik dari lapangan, sebab seorang dai adalah tipe manusia yang senantiasa terus bergerak (mobile). Suatu saat ia berada di belakang meja, pada saat yang lain tampil di depan forum ilmiah, dan di lain waktu ia berada di depan memimpin massa demo yang gagah tapi beradab.
Sebuah realitas bahwa kegiatan demo sangat membutuhkan etika dan semangat dakwah, agar tidak destruktif dan anarkis tetapi justru memberikan pembelajaran dan membangun stigma positif, sementara dakwah islamiyah yang bertujuan untuk menegakkan kebenaran dan menolak kebatilan, kadang memerlukan demo sebagai salah satu sarana dalam menyampaikan misinya.

Ketika dakwah mengambil demo sebagai suatu pilihan caranya, maka pilihan ini harus mendapat dukungan para kader dakwah. Alangkah indah dan menyejukkan hati saat melihat jamaah yang besar sedang menunaikan shalat berjamaah, dengan rapi dan khusyu’. Indahnya pemandangan yang serupa bisa dinikmati saat menyaksikan gelombang demo yang besar, tetapi dengan tertib (jama’i) serta khusyu’ menjalankan agenda-agendanya. Dakwah dan kader dakwah perlu membuat citra dan memperkenalkan terus demo yang da’wi.
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, walillahil hamd.
lengkapnya

Monday, May 08, 2006

Menjaga Iradah Qawiyah Dalam Dakwah

Di saat tonggak keimanan tertancap dalam jiwa seorang muslim, maka perubahan demi perubahan yang mengarah kepada kebaikan akan terlukiskan dalam lembaran-lembaran kehidupannya. Pada akhirnya, akal menjadi tershibghah dengan nilai-nilai Islam, hati terbingkai dengan keyakinan-keyakinan akan nilai-nilai kebenaran dan jasad akan lelah mengikuti keinginan dan kehendak akal dan hati yang telah terwarnai nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan Islam tersebut. Di sini ia telah menghimpun kesalehan-kesalehan pribadi. Namun ia tidak boleh puas hanya berhenti di sebuah terminal kesalehan pribadi. Ia harus berusaha keras agar mampu mentransfer nilai-nilai kesalehanya ke dalam ruang lingkup yang lebih luas lagi yaitu ruang lingkup keluarga dan masyarakatnya. Di sini ia telah berada pada tangga kehidupan yang sesungguhnya, kehidupan yang mampu memberi kontribusi riil kepada masyarakat yang di mana ia berada di tengah-tengahnya. Inilah tangga “shalih mushlih”, orang-orang saleh yang senantiasa memberikan kesalehannya kepada orang lain. Allah SWT berfirman:
"Dan apakah orang yang dulunya mati, lalu Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya (keimanan) yang di mana ia berjalan di tengah-tengah manusia dengan cahaya tersebut, seperti orang yang masih dalam kegelapan yang di mana ia tidak bisa keluar darinya …” (QS 6:122)
Perjalanan dakwah bukanlah perjalanan yang penuh dengan hamparan permadani rehat dan kenikmatan. Akan tetapi perjalanan yang penuh dengan onak dan duri ujian. Perjalanan yang senantiasa diwarnai dengan debu-debu hasutan dan tuduhan, kerikil-kerikil cobaan dan bebatuan ancaman serta siksaan. Pengorbanan dan perjuangan merupakan keniscayaan di jalan ini. Itulah yang pernah dialami oleh semua para Nabi dan Rasul. Semua manusia yang meniti jalan dakwah sesudahnya. Mereka akan menghadapi gelombang ujian yang terus menerus sampai tercapainya sebuah kemenangan yang dijanjikan Allah SWT. Mereka terus melakukan pengorbanan demi pengorbanan baik waktu, tenaga, harta dan jiwa. Itulah dakwah, ia adalah “tadhhiat” (pengorbanan) bukanlah “istifadah’” (memanfaatkan). Coba kita perhatikan firman Allah di bawa ini:
"Dan sungguh para Rasul sebelum kamu telah didustakan, namun mereka senantiasa sabar atas apa yang mereka dustakan dan mereka (para Rasul) telah disakiti hingga akhirnya datang kepada mereka pertolongan Kami…” (QS 6:34)
Pada marhalah makiyah, Rasulullah SAW telah menghadapi banyak tantangan dan rintangan dalam dakwah. Beliau berhadapan dengan pamannya sendiri, Abu Lahab yang selalu menghalang-halangi jalan dakwah bersama istrinya, Ummu Jamil. Sementara itu cercaan, tuduhan, ancaman, penangkapan dan siksaan silih berganti mewarnai kehidupan dakwah Beliau. Bahkan pernah mengalami embargo yang dilakukan oleh Kuffar Quraisy selama tiga tahun lamanya. Di sisi lain, sebagian para sahabat mendapatkan ancaman dan siksaan yang serius dari tangan-tangan Kuffar sebagaimana yang dialami Abu Bakar, Ammar, Sumayyah, Khabab bin Art, Bilal dan yang lainnya. Meskipun dahsyatnya ujian dan beratnya cobaan dalam dakwah, mereka tetap sabar dan teguh dalam memegang prinsip-prinsip kebenaran. Mereka tidak pernah merasa loyo, lemah dan payah di jalan yang telah dipilihnya. Mereka terus bangkit dan melaju dalam melakukan perubahan dan perbaikan. Allah SWT berfirman:
"Dan banyak Nabi yang telah berperang bersama para cendekiawan, mereka tidak pernah merasa lemah atas musibah yang menimpa mereka di jalan Allah, mereka tidak pernah loyo dan tidak pernah merasa hina. Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar." (QS 3:146)
Begitu juga yang dialami oleh para dai sesudahnya hingga dewasa ini. Memang perjalanan dakwah penuh dengan tangan-tangan besi musuh-musuh Islam, selalu diwarnai dengan makar para penguasa lalim dan senantiasa dipenuhi bebatuan ujian dan cobaan. Oleh karenanya tatkala kita meyakini dengan kebenaran “mabaadi” (prinsip-prinsip) dakwah ini dan berikrar untuk setia dalam memperjuangkan nilai-nilai atau fikrah-fikrahnya, maka kita harus siap menghadapi segala kemungkinan, segala ujian dan rintangan di jalan dakwah ini. Hal ini merupakan resiko yang harus kita terima dan sebuah konsekuensi dari pilihan afiliasi kita dengan dakwah ini.
Setelah tergambar dengan jelas tentang resiko perjalanan dakwah, seorang dai harus senantiasa menjaga kebugaran ruhiyah, fikriyah dan jasadiyah. Dengan hubungan yang kuat kepada Allah dan kematangan fikriyah, seorang dai akan terus eksis menebarkan nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan Islam di tengah-tengah masyarakatnya.
Dan salah satu factor yang menjadikan du’at bertahan dan terus eksis di jalan dakwah adalah adanya hamasah (semangat) dan iradah (kehendak) kuat yang tertanam dalam jiwa mereka. Tanpa iradah mustahil kita bergerak dan melangkah untuk kepentingan dakwah. Dan tanpa hamasah yang membara, jiwa-jiwa kita akan mudah loyo dan terpuruk. Itulah iradah dan hamasah yang lahir dari kekuatan “yaqdlah ruhiah” (kesiagaan ruhani). Iradah yang merupakan anak panah yang membimbing para dai untuk sampai sasaran-sasaran yang dibidik ole dakwah. Muassis dakwah ini hanya menginginkan kader-kader yang bergabung di dalamnya adalah kader-kader atau para da’i yang memiliki jiwa-jiwa muda yang senantiasa membara dan semangat yang menggelora dalam medan dakwah. Oleh karenanya, Imam asy-Syahid berkata dalam risalah “da’watunaa fii thaurin jadiid”: “Kami hanya menginginkan jiwa-jiwa yang hidup, kuat dan muda, hati yang baru nan berkibar, emosi-emosi yang pencemburu, menyala-nyala dan meronta-ronta serta ruh-ruh yang memiliki obsesi, pandangan jauh dan menari-nari yang menghayalkan teladan-teladan tinggi dan tujuan-tujuan agung…” (Majmu’at Rasaa-il, hal233)
Dalam risalat “hal nahnu qaumun ‘amaliyyun” beliau berkata: “Dan tidak ada bekal yang layak bagi umat dalam meniti jalan yang keras dan mengerikan ini kecuali jiwa yang beriman, tekad kuat nan jujur, kegemaran berkorban dan berani menanggung resiko. Dan tanpa ini semua gerakan dakwah akan dikalahkan dan kegagalan menjadi sahabat putra-putra dakwah.” (Majmu’at Rasaa-il, hal 69)
Jadi iradah dan hamasah merupakan sebuah keniscayaan dan keharusan dalam memperjuangkan fikrah dakwah ini. Karena fikrah dakwah ini tidak mungkin dirasakan oleh masyarakat dan menjadi opini umum kecuali adanya kekuatan hamasah dan iradah yang bersemayam dalam jiwa para dai. Fikrah dakwah ini bias sukses apabila ada kekuatan iman, keikhlasan di jalannya, kekuatan hamasah, kesiapan berkorban dan beramal untuk merealisasikan tujuan-tujuannya.
Untuk menumbuhkan dan menjaga iradah qawiyah dalam diri seorang dai, maka harus dilakukan beberapa langkah berikut ini:
Pertama, Keimanan yang kuat akan kebenaran prinsip dakwah
Dengan mengimani kebenaran prinsip-prinsip dakwah, maka seorang kader atau dai akan terus memperjuangkan nilai-nilainya tanpa mengenal lelah, bosan dan loyo dalam bergerak. Keimanan inilah yang mampu membangun, menumbuhkan dan memelihara iradah dan semangat yang telah mengakar dalam jiwa seorang dai. QS 22:77
Kedua, Pemahaman yang Integral dan Komprehensif Tentang Visi dan Misi Kehidupan
Ketika kita memahami dengan benar tentang visi dan misi kehidupan, maka akan lahir sebuah kehendak yang kuat dan hamasah yang menggelora untuk bias mewujudkan visi misi ini. Kita akan senantiasa berpacu dalam mengemban dan menebarkan nilai-nilai dakwah untuk mengisi ruang visi misi kehidupan kita. Semangat mencari ridha Allah dalam beribadah, berkarya, bekerja dan bermuamalah adalah semangat yang lahir dari pemahaman yang benar tentang visi misi kehidupan kita.
Ketiga, Memahami Perjuangan Para Nabi dan Rasul
Keempat, Memahami sunnatul ibtila dalam dakwah
Kelima, Membangun sensitivitas yang kuat
Dan dengan memahami perjuangan, pengorbanan dan sunnatul ibtila dalam dakwah, akan memperkokoh iradah dan semangat kita dalam menebarkan nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan di tengah-tengah masyarakat.
Semoga kita benar-benar menjadi kader dakwah yang memiliki iradah kuat serta memiliki api hamasah yang tak pernah padam dalam beraktivitas di medan perjuangan dakwa kita.
Wallahu A’lam Bish-shawwab.
lengkapnya

Tuesday, May 02, 2006

Al-Quran Sebagai Bekal Dan Tuntunan Perjuangan Dakwah

Kedudukan dan fungsi Al-Qur’an
Allah SWT menciptakan manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Di samping itu Dia juga memberikan bekal kepada manusia dengan bekal yang memandunya supaya dapat menjalankan tugas kekhalifahan, yakni Al-Qur’an Al-Karim.
Al-Quran adalah pedoman hidup manusia dalam mengarungi tugas kekhalifahannya di muka bumi, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 185. Namun demikian, yang mampu mengambilnya sebagai petunjuk hanyalah orang-orang yang bertaqwa (lihat Q.S. 2/Al-Baqarah : 2).
Asy-Syahid Hasan Al-Banna pernah mengungkapkan bahwa sikap kebanyakan manusia di masa-masa sekarang ini terhadap kitab Allah SWT ibarat manusia yang diliputi dengan kegelapan dari segala penjuru. Berbagai sistem telah bangkrut, masyarakat telah hancur, nasionalisme telah jatuh. Setiap kali manusia membuat sistem baru untuk diri mereka, segera sistem itu hancur berantakan. Hari ini, manusia tidak mendapatkan jalan selain berdoa, bersedih, dan menangis. Sungguh aneh, karena di hadapan mereka sebenarnya terdapat Al-Qur’an, cahaya sempurna.(Hadits Tsulatsa/23-24)
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Qur'an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Q.S. 26/Asy-Syu’araa: 52)

Dalam ayat ini Allah SWT menyebutkan Al-Qur’an sebagai ruh yang berfungsi menggerakkan sesuatu yang mati, mencairkan kejumudan, dan membangkitkan kembali semangat umat sehingga ia bisa menunaikan tugas kekhalifahannya dengan sebaik-baiknya.

Interaksi dengan Al-Qur’an
Allah SWT menjanjikan bagi orang-orang yang berinteraksi dengan Al-Qur’an akan mendapatkan kemuliaan. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?” (Q.S. 21/ Al-Anbiyaa: 10)

Interaksi ini harusnya dilakukan secara utuh baik secara tilawatan (menguasai cara membacanya sesuai dengan kaidah tajwid dan mampu membacanya di waktu siang maupun malam), fahman (memahami kandungan ayat-ayat yang dibaca), amalan (kemampuan mengamalkan Al-Qur’an dalam kehidupan/membumikan Al-Qur’an) maupun hifzhan (kemampuan menghafalkan ayat-demi ayat Al-Qur’an).

Itulah empat bentuk interaksi yang diinginkan Al-Qur’an kepada setiap Muslim.

Upaya membangun ruh Al-Qur’an bagi kader dan kiat-kiatnya
Agar bisa berinteraksi kembali dengan Al-Qur’an, maka perlu disadarkan kembali kewajiban-kewajiban kita di hadapan Al-Qur’an.
Asy-Syahid Hasan Al-Banna mengungkapkan beberapa kewajiban Muslim terkait dengan Al-Qur’an yaitu :
1. Seorang Muslim harus memiliki keyakinan yang sungguh-sungguh dan kuat bahwa tidak ada yang dapat menyelamatkan kita kecuali sistem sosial yang diambil dan bersumber dari kitab Allah SWT. Sistem sosial apa pun yang tidak mengacu atau tidak berlandaskan kepada Al-Qur’an pasti akan menuai kegagalan.
2. Kaum Muslimin wajib menjadikan kitab Allah sebagai sahabat karib, kawan bicara, dan guru. Kita harus membacanya. Jangan sampai ada hari yang kita lalui sedangkan kita tidak menjalin hubungan dengan Allah SWT melalui Al-Qur’an.
Demikianlah keadaan para pendahulu kita, kaum salaf. Mereka tidak pernah kenyang dengan Al-Qur’anul Karim. Mereka tidak pernah meninggalkannya. Bahkan mereka mencurahkan waktunya untuk itu. Sunnah mengajarkan agar kita mengkhatamkannya tidak lebih dari satu bulan dan tidak kurang dari tiga hari. Umar bin Abdul Aziz apabila disibukkan oleh urusan kaum Muslimin, beliau mengambil mushaf dan membacanya walaupun hanya dua atau tiga ayat. Beliau berkata, “Agar saya tidak termasuk mereka yang menjadikan Al-Qur’an sebagai sesuatu yang ditinggalkan.”
3. Ketika membaca Al-Qur’an kita harus memperhatikan adab-adab membacanya. Demikian pula saat kita mendengarkan Al-Qur’an harus memperhatikan adab-adabnya. Hendaklah kita berusaha merenungkan dan meresapinya.
4. Setelah kita mengimani bahwa Al-Qur’an adalah satu-satunya penyelamat, kita wajib mengamalkan hukum-hukumnya, baik dalam tingkatan individu maupun hukum-hukum yang berkaitan dengan masyarakat atau hukum-hukum yang berkaitan dengan penguasa.
lengkapnya

Membiayai Dakwah Dengan Harta Kita

Waktu Dan Kekayaan Adalah Harta Kita
Allah SWT adalah Pemberi Rizki kepada setiap makhluk-Nya yang hidup di dunia ini. Setiap makhluk hidup telah dijamin oleh Allah rizkinya. Allah berfirman:
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allahlah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Huud:6)
Namun demikian, Allah tidaklah memberikan rezki tersebut pada tingkatan yang instan tanpa ada usaha dari manusia. Manusia tetap dituntut untuk terus berusaha mencari rizki yang sudah diperuntukkan Allah bagi dirinya. Di sinilah manusia dituntut untuk bekerja keras, berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan rizki itu.
Banyak orang terkecoh bahwa yang merupakan rizki itu hanyalah yang bersifat materi belaka. Tidak dipungkiri, memang kekayaan adalah rizki tetapi bukanlah satu-satunya rizki. Ilmu juga merupakan rizki. Bahkan waktu yang kita miliki ini pun merupakan rizki, karena merupakan kesempatan bagi kita untuk meraih dan menginvestasikan kebaikan. Waktu itu dalam pandangan Imam Hasan Al-Bashri merupakan kehidupan itu sendiri.
Pantaslah dalam doa seringkali dimunajatkan, “warzuqnaa tilaawatahuu aanaa allaili wa athraafan nahaar” (Ya Allah, berilah kesempatan kepada kami untuk membacanya (Al-Qur’an) di waktu malam yang kelam maupun di waktu siang yang terang benderang).
Oleh karena itu, sebenarnya kita semua memiliki kekayaan, mungkin secara fisik (kekayaan yang Allah amanahkan kepada kita); mungkin juga non fisik (berupa waktu luang yang Allah berikan kepada kita). Inilah harta kita yang harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Harta Yang Kita Miliki Bukan Seutuhnya Milik Kita
Allah SWT adalah Dzat yang memberikan jaminan rizki kepada kita, ini menunjukkan bahwasanya Allah pun berhak mengatur peruntukan rizki yang ada pada kita.
Manusia yang tidak menyadari akan hal ini menganggap bahwasanya rizki itu adalah hasil kerja kerasnya sendiri tanpa ada campur tangan Allah SWT. Perilaku ini digambarkan oleh Allah SWT ketika menceritakan tentang kepicikan Karun. Allah berfirman:
Karun berkata, “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku". Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.” (QS. Al-Qashash: 78)
Tuntutan yang dikehendaki Allah terkait dengan harta kita adalah dalam bentuk Infaq di jalan Allah SWT untuk menegakkan agama-Nya di muka bumi ini.

Membiayai Da’wah Dengan Harta Kita Adalah Jihad Besar
Di antara seruan Allah SWT dalam memobilisasi kaum Muslimin untuk berjihad di jalan-Nya adalah dalam Surat At-Taubah ayat 41:
"Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah: 41)
Infaq di jalan Allah menjadi sebuah keharusan yang tidak boleh ditinggalkan dalam jihad fii sabilillah, baik dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan sempit. Dalam ayat tersebut secara gamblang disebutkan bahwa berjihadlah dengan harta dan jiwamu.
Para shahabat radhiyallahu ‘anhum berlomba-lomba menginfakkan harta mereka setiap kali seruan infaq datang kepada mereka. Abu Bakar menginfakkan seluruh hartanya kepada Rasulullah, Umar menginfaqkan separuh hartanya kepada Rasulullah, Utsman bin Affan pernah menginfakkan seribu ekor unta berikut isinya. Pantaslah para muassis dakwah pada zaman sekarang ini pun mengandalkan penggalangan dana dari infaq para pendukungnya dengan slogan shunduuqunaa juyuubuna. Tidak mengandalkan kepada uluran tangan dan belas kasihan orang lain. Asy-Syahid Hasan Al-Banna pernah menolak pemberian dari kerajaan Inggris untuk aktivitas dakwah beliau.
Mengapa kita diharuskan berjihad dengan harta kita? Hal itu disebabkan karena kebatilan pun untuk bisa eksis, didukung oleh para pendukung kebatilan (orang-orang kafir) yang berani mengeluarkan biaya besar. Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka Jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan,” (QS. Al-Anfal: 36)
Oleh karena itu, pelalaian akan infaq di jalan Allah ini akan menyebabkan surutnya kembali cahaya Islam dan tertutupinya kebenaran Islam. Tertutup oleh kegelapan kebatilan dan kezhaliman yang mengobral harta mereka untuk melawan kebenaran.
Perhatikanlah dalam penggalan sejarah ketika para sahabat berkeinginan meminta dispensasi kepada Rasulullah untuk tidak lagi berinfaq dan meninggalkan dakwah yang telah maju di Madinah untuk sekadar memetik keuntungan duniawi. Permintaan dispensasi tersebut dijawab oleh Allah dengan sebuah penegasan untuk berinfaq di jalan Allah SWT.
"Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)
Semoga Allah SWT senantiasa melapangkan rizki kepada kita dan memberikan kekuatan kepada kita untuk berinfaq di jalan Allah SWT dalam menegakkan agama Allah di muka bumi ini. Amin.
lengkapnya