Monday, May 08, 2006

Menjaga Iradah Qawiyah Dalam Dakwah

Di saat tonggak keimanan tertancap dalam jiwa seorang muslim, maka perubahan demi perubahan yang mengarah kepada kebaikan akan terlukiskan dalam lembaran-lembaran kehidupannya. Pada akhirnya, akal menjadi tershibghah dengan nilai-nilai Islam, hati terbingkai dengan keyakinan-keyakinan akan nilai-nilai kebenaran dan jasad akan lelah mengikuti keinginan dan kehendak akal dan hati yang telah terwarnai nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan Islam tersebut. Di sini ia telah menghimpun kesalehan-kesalehan pribadi. Namun ia tidak boleh puas hanya berhenti di sebuah terminal kesalehan pribadi. Ia harus berusaha keras agar mampu mentransfer nilai-nilai kesalehanya ke dalam ruang lingkup yang lebih luas lagi yaitu ruang lingkup keluarga dan masyarakatnya. Di sini ia telah berada pada tangga kehidupan yang sesungguhnya, kehidupan yang mampu memberi kontribusi riil kepada masyarakat yang di mana ia berada di tengah-tengahnya. Inilah tangga “shalih mushlih”, orang-orang saleh yang senantiasa memberikan kesalehannya kepada orang lain. Allah SWT berfirman:
"Dan apakah orang yang dulunya mati, lalu Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya (keimanan) yang di mana ia berjalan di tengah-tengah manusia dengan cahaya tersebut, seperti orang yang masih dalam kegelapan yang di mana ia tidak bisa keluar darinya …” (QS 6:122)
Perjalanan dakwah bukanlah perjalanan yang penuh dengan hamparan permadani rehat dan kenikmatan. Akan tetapi perjalanan yang penuh dengan onak dan duri ujian. Perjalanan yang senantiasa diwarnai dengan debu-debu hasutan dan tuduhan, kerikil-kerikil cobaan dan bebatuan ancaman serta siksaan. Pengorbanan dan perjuangan merupakan keniscayaan di jalan ini. Itulah yang pernah dialami oleh semua para Nabi dan Rasul. Semua manusia yang meniti jalan dakwah sesudahnya. Mereka akan menghadapi gelombang ujian yang terus menerus sampai tercapainya sebuah kemenangan yang dijanjikan Allah SWT. Mereka terus melakukan pengorbanan demi pengorbanan baik waktu, tenaga, harta dan jiwa. Itulah dakwah, ia adalah “tadhhiat” (pengorbanan) bukanlah “istifadah’” (memanfaatkan). Coba kita perhatikan firman Allah di bawa ini:
"Dan sungguh para Rasul sebelum kamu telah didustakan, namun mereka senantiasa sabar atas apa yang mereka dustakan dan mereka (para Rasul) telah disakiti hingga akhirnya datang kepada mereka pertolongan Kami…” (QS 6:34)
Pada marhalah makiyah, Rasulullah SAW telah menghadapi banyak tantangan dan rintangan dalam dakwah. Beliau berhadapan dengan pamannya sendiri, Abu Lahab yang selalu menghalang-halangi jalan dakwah bersama istrinya, Ummu Jamil. Sementara itu cercaan, tuduhan, ancaman, penangkapan dan siksaan silih berganti mewarnai kehidupan dakwah Beliau. Bahkan pernah mengalami embargo yang dilakukan oleh Kuffar Quraisy selama tiga tahun lamanya. Di sisi lain, sebagian para sahabat mendapatkan ancaman dan siksaan yang serius dari tangan-tangan Kuffar sebagaimana yang dialami Abu Bakar, Ammar, Sumayyah, Khabab bin Art, Bilal dan yang lainnya. Meskipun dahsyatnya ujian dan beratnya cobaan dalam dakwah, mereka tetap sabar dan teguh dalam memegang prinsip-prinsip kebenaran. Mereka tidak pernah merasa loyo, lemah dan payah di jalan yang telah dipilihnya. Mereka terus bangkit dan melaju dalam melakukan perubahan dan perbaikan. Allah SWT berfirman:
"Dan banyak Nabi yang telah berperang bersama para cendekiawan, mereka tidak pernah merasa lemah atas musibah yang menimpa mereka di jalan Allah, mereka tidak pernah loyo dan tidak pernah merasa hina. Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar." (QS 3:146)
Begitu juga yang dialami oleh para dai sesudahnya hingga dewasa ini. Memang perjalanan dakwah penuh dengan tangan-tangan besi musuh-musuh Islam, selalu diwarnai dengan makar para penguasa lalim dan senantiasa dipenuhi bebatuan ujian dan cobaan. Oleh karenanya tatkala kita meyakini dengan kebenaran “mabaadi” (prinsip-prinsip) dakwah ini dan berikrar untuk setia dalam memperjuangkan nilai-nilai atau fikrah-fikrahnya, maka kita harus siap menghadapi segala kemungkinan, segala ujian dan rintangan di jalan dakwah ini. Hal ini merupakan resiko yang harus kita terima dan sebuah konsekuensi dari pilihan afiliasi kita dengan dakwah ini.
Setelah tergambar dengan jelas tentang resiko perjalanan dakwah, seorang dai harus senantiasa menjaga kebugaran ruhiyah, fikriyah dan jasadiyah. Dengan hubungan yang kuat kepada Allah dan kematangan fikriyah, seorang dai akan terus eksis menebarkan nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan Islam di tengah-tengah masyarakatnya.
Dan salah satu factor yang menjadikan du’at bertahan dan terus eksis di jalan dakwah adalah adanya hamasah (semangat) dan iradah (kehendak) kuat yang tertanam dalam jiwa mereka. Tanpa iradah mustahil kita bergerak dan melangkah untuk kepentingan dakwah. Dan tanpa hamasah yang membara, jiwa-jiwa kita akan mudah loyo dan terpuruk. Itulah iradah dan hamasah yang lahir dari kekuatan “yaqdlah ruhiah” (kesiagaan ruhani). Iradah yang merupakan anak panah yang membimbing para dai untuk sampai sasaran-sasaran yang dibidik ole dakwah. Muassis dakwah ini hanya menginginkan kader-kader yang bergabung di dalamnya adalah kader-kader atau para da’i yang memiliki jiwa-jiwa muda yang senantiasa membara dan semangat yang menggelora dalam medan dakwah. Oleh karenanya, Imam asy-Syahid berkata dalam risalah “da’watunaa fii thaurin jadiid”: “Kami hanya menginginkan jiwa-jiwa yang hidup, kuat dan muda, hati yang baru nan berkibar, emosi-emosi yang pencemburu, menyala-nyala dan meronta-ronta serta ruh-ruh yang memiliki obsesi, pandangan jauh dan menari-nari yang menghayalkan teladan-teladan tinggi dan tujuan-tujuan agung…” (Majmu’at Rasaa-il, hal233)
Dalam risalat “hal nahnu qaumun ‘amaliyyun” beliau berkata: “Dan tidak ada bekal yang layak bagi umat dalam meniti jalan yang keras dan mengerikan ini kecuali jiwa yang beriman, tekad kuat nan jujur, kegemaran berkorban dan berani menanggung resiko. Dan tanpa ini semua gerakan dakwah akan dikalahkan dan kegagalan menjadi sahabat putra-putra dakwah.” (Majmu’at Rasaa-il, hal 69)
Jadi iradah dan hamasah merupakan sebuah keniscayaan dan keharusan dalam memperjuangkan fikrah dakwah ini. Karena fikrah dakwah ini tidak mungkin dirasakan oleh masyarakat dan menjadi opini umum kecuali adanya kekuatan hamasah dan iradah yang bersemayam dalam jiwa para dai. Fikrah dakwah ini bias sukses apabila ada kekuatan iman, keikhlasan di jalannya, kekuatan hamasah, kesiapan berkorban dan beramal untuk merealisasikan tujuan-tujuannya.
Untuk menumbuhkan dan menjaga iradah qawiyah dalam diri seorang dai, maka harus dilakukan beberapa langkah berikut ini:
Pertama, Keimanan yang kuat akan kebenaran prinsip dakwah
Dengan mengimani kebenaran prinsip-prinsip dakwah, maka seorang kader atau dai akan terus memperjuangkan nilai-nilainya tanpa mengenal lelah, bosan dan loyo dalam bergerak. Keimanan inilah yang mampu membangun, menumbuhkan dan memelihara iradah dan semangat yang telah mengakar dalam jiwa seorang dai. QS 22:77
Kedua, Pemahaman yang Integral dan Komprehensif Tentang Visi dan Misi Kehidupan
Ketika kita memahami dengan benar tentang visi dan misi kehidupan, maka akan lahir sebuah kehendak yang kuat dan hamasah yang menggelora untuk bias mewujudkan visi misi ini. Kita akan senantiasa berpacu dalam mengemban dan menebarkan nilai-nilai dakwah untuk mengisi ruang visi misi kehidupan kita. Semangat mencari ridha Allah dalam beribadah, berkarya, bekerja dan bermuamalah adalah semangat yang lahir dari pemahaman yang benar tentang visi misi kehidupan kita.
Ketiga, Memahami Perjuangan Para Nabi dan Rasul
Keempat, Memahami sunnatul ibtila dalam dakwah
Kelima, Membangun sensitivitas yang kuat
Dan dengan memahami perjuangan, pengorbanan dan sunnatul ibtila dalam dakwah, akan memperkokoh iradah dan semangat kita dalam menebarkan nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan di tengah-tengah masyarakat.
Semoga kita benar-benar menjadi kader dakwah yang memiliki iradah kuat serta memiliki api hamasah yang tak pernah padam dalam beraktivitas di medan perjuangan dakwa kita.
Wallahu A’lam Bish-shawwab.
lengkapnya

0 Comments:

Post a Comment

<< Home